Kinerja Tim Perwasitan WOKT II

Nardi menyadari, kita boleh fanatik kepada Perguruan, kepada Negara kita Indonesia, tetapi dalam batas-batas yang sehat dan rasional, sebab tanpa fanatisme samasekali, kita juga menjadi lemah dalam tiap perjuangan. Fanatisme yang terarah dan menciptakan semangat tinggi dan membangun boleh-boleh saja, tetapi fanatisme yang merusak jangan didekati bahkan jauhilah agar kita tidak menjadi manusia yang menghalalkan segala cara demi tujuan. Sesuaikan pribadi dan sikap anda sesuai pekerjaan yang diembannya, kata Nardi. Negarawan, Politikus dan Pengacara umpamanya pasti berbeda dalam mengekspresikan sikap dan wawasannya, kata Nardi.

Contoh ini terjadi pada Tokyo Honbu. Pada saat menghadapi event besar, Mas Oyama dihadapan para peserta Jepang dalam pengarahannya pernah berkata; Apabila Jepang sampai kalah dan tidak bisa menjadi juara, maka beliau akan melakukan hara kiri. Kalimat ini maksudnya memberi semangat dan motivasi kuat pada tim Jepang, tetapi menurut Nardi kurang tepat dan tidak bijaksana, akibatnya dorongan semangat yang keliru ini menjadikan Panitia Pertandingan secara keseluruhan berbuat apa saja,menghalalkan segala cara asal Jepang menjadi Juara. Mereka pasti tidak ingin melihat Sanjungannya melaksanakan ancaman tersebut.Dan terbukti, ini memang memberi efek negatif sehingga banyak hal dinilai kurang fair dari Tim Perwasitan apabila Jepang berhadapan dengan karateka negara lain yang diperkirakan bisa menghalangi dominasi Jepang di babak berikutnya.

Pasti digunakan berbagai cara untuk menggagalkan dan menggugurkan lawan.Umpamanya;dengan draw yang dipaksakan hingga batas maksimal yaitu tiga kali dan akhirnya, dilakukan penimbangan berat badan. Rata-rata karateka asing berat badannya diatas karateka Jepang, akibatnya dikalahkan. Ini hanya sebagian contoh akibat fanatisme buruk yang menghalalkan segala cara demi tujuan.

Terjadilah kenyataan saat Willie William, karateka tinggi besar dari A.S. (yg pernah bertarung melawan Beruang Amerika), bertanding melawan karateka tuan rumah. Nyata Willie William unggul dan menguasai jalannya pertandingan, tetapi selalu berakhir draw dan setelah penimbangan berat badan dia dinyatakan kalah dan penonton bersuara mengejek, tidak bisa menerima keputusan ini. Buuuu……buuuuuu….!Willie William jengkel, diangkatnya karateka Jepang itu dengan mudah, lalu dibawanya kedepan meja Panitia Pertandingan dimana Mas Oyama berada dan …..braaaaak…dilemparkannya karateka Jepang itu diatas meja didepan Mas Oyama. Penonton bertepuk. Semua mata memandang kearah kejadian lalu……..?!.

Karenanya, kata Nardi; yang penting itu bukan betapa lengkap dan indahnya isi peraturan dan ketentuan yang tertulis, tetapi tergantung sepenuhnya kepada: ‘The man behind the gun‘. Setiap peraturan dan ketentuan apapun selalu ada celah-celahnya yang bisa digunakan untuk melindas dan menghianati kebenaran, sambungnya.

Contoh ini harus menggugah diri kita bahwa jangan sampai kita menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan. Pembinaan Mental Karate, Perguruan ini selalu mencoba menanamkan pandangan ini walau memang sulit untuk melahirkan pribadi-pribadi yang menjadi ragi yang baik, betapapun sedikitnya akan sangat bermanfaat bagi sesamanya. Sebagai suri teladan. Dalam sistim yang nyata seperti Full Body Contact ini dimana bukan hanya perwasitan bisa memberi penilaian akhir siapa menang dan siapa kalah, penontonpun bisa ikut menilai karena nyata, masih dengan mudah direkayasa sedemikian rupa hingga mengecewakan, lalu bagaimana pada sistim yang samar samar?. Bukankah akan jauh lebih mudah untuk merekayasa menang kalahnya seseorang. Yang pasti lebih mudah lagi untuk tujuan tujuan sepihak. Ingat, the man behind the gun !