TERTIB DAN DISIPLIN

TERTIB DAN DISIPLIN
MUTLAK PERLU
 

Bersamaan saat berdirinya Perguruan 40 tahun lalu, tertib dan disipilin itu sudah dibicarakan, diajarkan dan dilaksanakan dengan sungguh sungguh berangkat dari pembinaan dalam dojo. Walau saat itu Perguruan ini mendapat predikat ` Karate Ndeso ` meminjam istilah Tukul. Masyarakat sudah bisa menilai betapa warga mempunyai disiplin yang tinggi, bisa disaksikannyata pada tahun pertama saat Perguruan baru berkiprah secara terbuka dalam memperingati HUT I Perguruan. Mungkin benih Perguruan Karate ndeso ini sudah sanggup mengungguli benih lain yang tumbuh lebih dulu. Bahkan ejekan dan cemooh; aahh….. itu karate kampungan, karate gadungan sudah mulai merebak. Kami tidak pernah perduli. The struggle for survival must go on with a strong and hounorable way.
Hingga kini kami bertahan hidup nyata tetap pada jalur semula. Menyesuaikan diri dengan zaman sudah pasti tidak bisa dihindari, tetapi jalur ` Pembinaan Mental & Tertip ~ Disiplin tetap kami pertahankan sekuat tenaga. Karena yang ini merupakan identitas, integritas ciri khas Perguruan.
Dalam Buku Catatan yang sangat sederhana hingga kinipun ada pertanyaan : Apa beda `Tartib & Disiplin ?`
Manusia tertib itu pada umumnya disebabkan karena adanya Hukum, Peraturan & Ketentuan, faktor pengawasan dan tindakan, pengarahan serta terlaksana dan dilaksanakannya semua ketentuan dan peraturan dengan baik dan konsekuen bertanggung jawab. Ada sanksinya. Ada hukumannya. Sering bahkan dengan cara mendekati paksaan asal tidak terlalu ekstrim dan represif.
Contohnya ` Tertip Lalu Lintas`. Tertib di larang merokok. Ada juga contoh Tertib & Disipilin Angkara Murka; umpamanya : IPDN yang demikian vulgar dan tanpa cita rasa kemanusiaan YANG ADIL DAN BERADAB ! Padahal calon darinyaakan dilahirkan ` Pengayom dan Pengatur Masyarakat. Bagaimana mungkin !

Disiplin terjadi apabila masyarakat sudah mendarah daging serta memahami semua keuntungan dari ketertiban yang pernah mereka rasakan manfaatnya bersama. Ingat masa adanya Kopkamtib. Hanya, dijaman represif itu Kokamtib menjadi alat Penguasa dan digunakan untuk keperluan Pribadi per Pribadi Pimpinan dan Penguasa. Pembungkaman dan untuk menakut nakuti masyarakat dan rakyatnya sendiri. Indonesia. Gestaponya Pemerintah. Jadi fungsi demi menertibkan masyarakat menuju disiplin disalah gunakan dengan sengaja. Menjadi zaman represif yang luar biasa.

Kalau jiwa sudah ditumbuhi semangat, pengertian, kesadaran diri pribadi dan sanubarinya dengan kefahaman lahir bathin tanpa Peraturan & Ketentuan serta paksaan. Mendarah daging dan mandiri. Maka, itulah DISIPLIN. Manfaat yang dihasilkan bagi diri sendiri sangat terasa juga tentunya bagi sesamanya. Apalagi sekiranya yang di atas bisa jadi suri teladan dan panutan. Indah hasilnya.

Tanpa pengawasan, komando, paksaan dan peraturan serta ketentuan yang ada, dirinya sudah mengawasi dirinya sendiri, bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

Contoh : Negara disebelah utara kita Singapore yang lahir lebih muda dari Negara Kita. China yang mengetrapkan HUKUM, peraturan & ketentuan demi ketertiban secara konsekuen ingin menuju Negara Besar berdisipilin tinggi. Jepang dengan Bushidonya yang diakui dunia karena kedisiplinan tinggi. Banyak diadopsi secara Univesal oleh Nagara lain.
Negara Eropa dan lain didunia ini banyak yang menjunjung tinggi arti disiplin bagi kesejahteraan rakyatnya. Disiplin dalam segala bidang.
Bagaimana dengan Negara kita tercinta yang sudah 62 tahun medeka dan bebas mengurus diri sendiri.
Tetap amburadul bukan ! Karena contoh teladan dari atas dan panutan yang seharusnya berfungsi, macet. Pendidikan landasan pertama terlambat memulai dan sering terabaikan. Aaaah, kuno bicara soal disiplin, pokoknya hidup itu bebas. Hidup kan untuk dinikmati dan bersenang senang. Soal disiplin, tidak penting ?!!

Faktor utamanya adalah; tidak adanya rasa tanggung jawab dan konsistensi yang diatas dalam segala tingkatan, baik dalam tingkat kecil maupun besar diseluruh negara ini. Masing masing dengan cara maunya sendiri. Kalau diarahkan, nggondok, emosi dan bahkan buang muka. Merasa sudah tahu kok diajari.
Ingat, satu tim cabang Sepak Bola yang belajar di Luar Negeri kabarnya saat dilatih dengan keras dan serious bagaimana menendang bola yang benar, ngrundel ! Wong kita ini sudah pandai menendang kok diajari lagi ?! Ditambah lebih parah pula, hampir tidak ada panutan yang bisa diandalkan dan dijadikan ` Suri Teladan ` yang konsisten tadi bagi bangsanya.

Sering pengayom masyarakat bahkan memberi contoh buruk. Dengan dada busung kedepan bersemboyan : ` Aku kuasa, mau apa. Ada keperluan, ya mau tunggu. Aku datang tepat waktu atau tidak, siapa berhak mengatur `! Tepat waktu tidak ada disebagian besar jiwa bangsa ini.
Semua ini jadi turun temurun. Yang dibawah melihat yang diatasnya. Yang agak atas melihat yang lebih atas lagi dan seterusnya. Sami ugi sami mawon – sama saja. Lihatlah contoh kecil dalam keluarga. Kalau ayah dan ibu tidak pernah disiplin dalam kehidupan sehati hari. Mungkinkah anak anaknya jadi anak yang disiplin ? Sering orang beralasan. Yaah, kita kan demokratis. Demokrasi apa ? Demokrasipun seharusnya dibangun diatas tertib menuju disiplin diri.

Saya selalu ingat tahun 70 an. Seorang Profesor yang cukup dikenal. Profesor Bidang Pendidikan. Mungkin kalau kebetulan beliau membaca Oshi Shinobu ini milik cucunya yang barangkali menerima Oshi Shinobu ini, pasti ingat ! Cendekiawan dan Sarjana ini pernah menulis di Media Masa kira sebagai berikut : `Jam karet itu memang – Kebudayaan Kita. Jadi tidak perlu dipermasalahkan. Wajar saja.

Aduuuuuh !!!!!. Tiba tiba pada saat itu, saya masih berkantor di Jl. Embong Malang Surabaya sebagai Extern Head Office, merasa kepala ini cekot cekot. Sangat sulit secara nalar menerima pernyataan ini. Seorang Profesor yang cukup dikenal dengan segala argumentasinya berkata demikian. Kalau Bung Karno mengatakan hal yang konyol dan tidak masuk akal dengan istilah ` Sontoloyo `, maka, saat itu saya sebagai manusia bodoh hanya berkata : ` Kebangeten – Keterlaluan `. Saya menyanggah pernyataan yang demikian itu dengan keras di Media yang sama dengan tajam. Juga dengan argumentasi saya.
Demikian juga dalam Perguruan ini. Tertib telah melahirkan sikap disiplin dengan nilai tinggi. Banyak yang sudah mengakui akibat gemblengan mental karakter yang lumayan terarah.

Tetapi tidak sedikit yang mengingkari hal ini dan berubah sikap serta perilaku dengan tiba tiba, lalu mengeluarkan senjata konvensionalnya : `Aku ini kan manusia sudah berumur, sudah dewasa, berpengalaman, manusia bebas. Sekarang ini masa demokrasi. Untuk apa harus disiplin ! Untuk pribadi seperti ini saya berani berkata : ` Sontoloyo kamu ! `
Memang benar, disiplin diri itu bukan satu hal yang kaku.
Asal perilaku kita ini terkontrol dan tidak melakukan sesuatu yang menurut kita menyenangkan tetap bagi yang lain satu penderitaan !
Karena kami memang sudah pernah dalam Keluarga Besar Perguruan dan sudah pernah berjanji serta beradaptasi dengan dunia disiplin. Mengakui dan menjalankannya dengan hasil nyata, lalu tiba tiba mengingkari karena munculnya sifat kepongahan hanya karena tiba tiba dunia seperti miliknya sendiri. Pengaruh sekitar yang membuat dirinya lemah dan lumer karena kuatnya hembusan kebebasan.
Menginjak injak nilai yang tinggi ini ? Manusia bebas untuk melakukan apa saja selama tidak melanggar Peraturan dan Hukum. Ini juga merupakan batasan yang berupa tertib itu tadi. Tapi, kebebasan ini jangan dijadikan alasan yang menimbulkan kesan ` Sontoloyo `.

Disiplin itu bukan hanya di Dojo bagi Karateka. Bukan di Pertemuan dan Upacara serta Acara saja.
Disiplin itu harus diterapkan disegala bidang. Bebas dan santai bukan berarti tanpa disiplin.
Apakah kalau kita sedang bebas dan santai, lalu kita putusi bunga bunga ditaman umum, kita corat coret tempat yang harus besih, kita kotori keindahan gedung dan dinding serta tiang tiangnya. Kita merokok di tempat `Dilarang Meroko`. Kita buang sampah sembarangan. Kita buang air kecil seenaknya dan sebagainya !!
Kita mengganggu dan tidak menghargai milik dan privasi orang lain. Apa ini yang disebut demokrasi dalam disiplin ` Sontoloyo ` itu tadi.

Disiplin diri itu membatasi dan mengatur tindak tanduk dan perilaku kita atas kesadaran diri sendiri sehingga selalu menempatkan diri kita menjadi manusia beradab dan berbudaya.

Kalau kita berani berkata : Aku akan berdisiplin. Tetapi apabila anak kita, orang yang kita bina dan masyarakat sekitar mengintip perbuatan kita dari lobang kecil atau lobang kunci, lalu terlihat bahwa dibalik sana kita tidak pernah berdisipplin diri dan bahkan bertolak belakang denhgan apa yang kita katakan. Lain kata lain pula perbuatan. Apa akibatnya ? Kita justru runtuh martabat serta semua keteladanan kita dinilai sebagai sandiwara murahan, opera sabun penuh kepura puraan. Jangan sampai hal demikian ini terjadi.

Jangan pernah menepuk dada sambil berkata, walau dalam hati : ` Aku berkuasa, mau apa ! ` Lebih baik menepuk dada dan berkata dalam hati dengan rendah hati : ` Kekuasaan dan wewenang ini sesungguhnya datang dari mereka yang saya pimpin. Sebab tidak ada yang mau dipimpin, saya bukan apa apa. Saya akan gunakan kekuasaan dan wewenang saya untuk kebaikan serta bijaksana serta saya ingin menjadi panutan yang bertanggungjawab. Dimanapun saya berkiprah dan berada `.
Ini yang memang sulit dan merupakan nilai kepribadian yang tinggi dan mulia !

o0o

(Nardi tn)