VISI & MISI PERGURUAN

VISI & MISI PERGURUAN
TATA CARA BERORGANISASI
 

Satu kenangan masa lalu untuk mawas diri khusus untuk Para Karateka berhati mulia. Jangan pernah berlaku, berbuat dan berbicara dengan gaya sebagai Karateka Angkara Murka. Jauhilah sikap dan sifat penuh kepongahan serta tinggi hati yang akhirnya akan meruntuhkan martabat diri sendiri.
Hembusan angin beraroma kurang sedap melalui segala bentuknya dalam dunia karatepun yang satu terhadap yang lain seperti dikisahkan dibawah ini tidak akan berhenti selama hati sanubari manusia masih dibelenggu perasaan `SUPER ABOVE ALL`. Juga, hindari dan jauhi Mental, Moral – Karakter seperti dalam pepatah: SEPERTI KACANG LUPA AKAN KULITNYA. Dalam segala aspek kehidupan.

Melalui jalan setapak, berliku liku naik turun penuh kerikil tajam, Perguruan sanggup dengan penuh semangat, ketabahan, rasa percaya diri, melangkahkan kaki menuju usia ke 42 tahun. Semua ini tidak lepas dari kebersamaan kita yang tulus dalam menopang dan mengawal perjalanan panjang ini. Tidak sekedar melalui kata kata tetapi dan terutama melalui perbuatan nyata berbekal kemauan dan tekad: TEGUH – TEGAK – TEGAR serta tidak pernah dipungkiri bahwa bimbingan serta perlindunganNYA merupakan kekuatan utama menyertai perjalanan ‘Mission Impossible’ ini. Saat Perguruan masih merupakan benih bertunas kecil dan tidak berdaya di tahun 1967, tumbuh di Kota Kecamatan Batu, Malang, dicibir sebagai kota tak berbudaya yang dihuni manusia tak berguna menurut pandangan sebagian manusia Kota Raya yang besar kepala. Suasana dan sekitar terasa masih mencekam. Usaha G – 30 – S PKI baru diredam, keadaan Negara masih kelam tanpa terlindungi samasekali oleh HAM.

Perguruan PEMBINAAN MENTAL KARATE ini terus merangkak penuh rasa ‘Percaya Diri’ dan dengan langkah pasti tetapi penuh mawas diri, berani berada ditengah tengah badai bangsa dimana keadaan Negara ini masih dipenuhi dan dihantui rasa curiga mencurigai antar sesamanya. Dendam, intrik, fitnah menimbulkan balas dendam yang merajalela. Siapa yang mau memandang mata kepada bayi kecil tak berdaya ini apalagi oleh Tokoh Tokoh Karate di Jakarta yang mulai masuk tahun 1964 dan berusaha berbenah diri menyusun Organisasi Karate tetapi salah langkah, justru membawa karate dalam pertikaian dan polemik panjang serta membuat masyarakat tercengang.
PEMBINAAN MENTAL KARATE terus melangkah. Tidak ingin dan tidak mau berada dalam kekalutan perebutan pengaruh demi kedudukan dan memangnya, siapa yang peduli akan Perguruan Karate yang berada jauh dari kesemrawutan Perkaratean di Ibu Kota. Perguruan Karate Ndeso dan dipimpin Karateka Kelahiran Karangploso yang `Sistim – Metode serta Aliran di negara asalnya Jepang mulanya dikenal dengan ~ Oyama Karate ~ yang juga dimusuhi dan kurang disuka oleh kalangan Tokoh Tokoh Karate yang sudah lebih dahulu berada, bahkan dianggap penggangu dan menimbulkan polemik pro dan kontra bahkan didiskreditkan beramai ramai oleh Karateka yang sudah mapan ini karena dianggap menyimpang dari kaidah perkaratean yang sudah mereka susun dan pahat dengan bangga.
Bahkan mungkin juga, masih diikuti rasa anti raas, karena Oyama Muda memang aslinya berasal dari Bangsa Korea, negara tetangga yang dianggap dan dinilai berada dibawah supremasi dan kemajuan Bangsa Jepang dalam berbagai hal. Keadaan ini wajar bisa terjadi dimana saja saat itu.

Mereka layaknya ‘The Old Established Forces’ kalau dalam tingkat dunia, yaitu; Negara Negara kelompok yang sudah mapan dan vested menurut istilah Bung Karno, Bapak Pendiri Republik ini dalam mengekspresikan sebutan pada Negara Negara maju yang mencoba dengan segala macam cara dan kelicikannya, mempertahankan hegemoninya terhadap Negara Negara berkembang dan miskin serta terbelakang dalam segala bentuknya. Umpamanya; melalui penjajahan Bangsa dan Negara maupun penjajahan Bidang Ekonom dan Kebudayaan.

KYOKUSHINKAI KARATE yang semula dikenal dengan ‘Oyama Karate’ memang merupaklan Aliran Karate termuda di Jepang. Negara Induk Perkaratean.
Dobrakan Oyama terhadap Dunia Karate Jepang bisa dibandingkan dan disebut sebagai ‘The New Emerging Forces’. Juga istilah Bung Karno. Yaitu satu Kekuatan Negara Baru dengan Semangat Pandangan dan Aliran Baru yang tumbuh nyata khususnya setelah selesainya Perang Dunia II yang ingin bebas dan merdeka dari kungkungan Negara Maju yang kolonialis dan hegemonis dalam segala bidang tadi.
Juga dibanding dengan bermacam jenis Aliran Beladiri di Jepang yang pada umumnya terbentuk jauh sebelumnya. The New Emerging Forces ini memang ingin merubah image perkaratean pada saat itu yang lesu tanpa adanya darah segar. Mungkin Shorinji Kempo agak sepantaran dengan Aliran Baru ini yang diperkenalkan Master Doshin So setelah mempelajari Shaolin Ssu Kungfu dan beberapa aliran silat terkemuka di Daratan Tiongkok.

Perguruan yang baru tumbuh, mengandalkan kemampuan yang ada dan berusaha berdiri diatas kaki sendiri dengan semangat dan rasa percaya diri ini, tetap melangkah dengan mantap dalam penyebarannya, terlebih setelah akhir 1970 saya membali dari Tokyo Honbu, Pusat Kyokushin – Kaikan International Karate Organization, selesai mendalami dan mengikuti ‘Special Black Belt Course For Instructors’ dengan sistim Latihan Padat. Kembalinya ke Indonesia menjelang akhir tahun resmi sebagai Branch Chief dan Chief Instructor untuk Indonesia.

Di Indonesia, Organ Kecil Perguruan laksana mendapat tambahan energi dan semangat, setelah selama 3 tahun bergelut bertahan hidup. Segera Perguruan berbenah diri dengan langkah pertama; yaitu: Menyelenggarakan Latihan Khusus kepada Para Pelatih Muda yang tetap melaksanakan tugas dengan baik dalam memberikan latihan di cabang cabang yang sudah terbentuk sebelum saya pergi dan selama saya berada di Tokyo Honbu. Ujung Tombak ini makin bergairah mengembangkan diri dengan munculnya matahari 1971.

Para Pelatih pada umumnya masih muda usia saat itu, rata rata sekitar 16 – 21 tahun, ditempa dan digembleng dengan mantap dalam satu bentuk `Latihan Khusus` itu tadi. Pagi – Siang dan Malam mereka dilatih dan dikarantina di Pusat Perguruan agar bisa berlatih penuh konsentrasi. Gelombang demi gelombang.


Warga makin mantap berlatih. Perguruan yang baru tumbuh khususnya di Jawa Timur ini namanya sudah cukup dikenal luas di Tanah Air. Akhir tahun 1971 di Surabaya diselenggarakan “Home Tournament I” memperebutkan – BRAWIJAYA CUP I – dari Pangdam VIII Brawijaya waktu itu. Bapak May.Jen. Widjojo Soejono.

Di Ibu Kota, beberapa Perguruan Karate yang tergabung dalam PORKI – Persatuan Olah Raga Karate Do Indonesia terus ribut karena sejak Karate mulai masuk Indonesia tahun 1964, Organisasi Induk Perkaratean yang dibentuk tidak jauh bedanya dengan cara penanganan sebuah Organisasi Politik. Pada umumnya, karakter dan cara kerja sudah pasti didominir para Karateka yang bobotnya berjiwa Politikus dengan corak dan ciri berpolitik pada umumnya. Padahal, ini adalah Dunia Karate. Organisasi Seni Beladiri Karate yang jiwa dan falsafahnya bertolak belakang dengan karakter dan falsafah perjuangan satu Organisasi Politik, apapun bentuknya.
Perguruan tetap tak hendak terlibat didalamnya, karena sebagai landasan dasar sudah ditata diatas satu `Cita Cita, Visi – Misi` sejak lahirnya tahun 1967 dan telah dipersiapkan dalam kurun waktu sebelumnya dan hingga kinipun tetap dipertahankan secara konsisten.

Pada saat Perguruan mula didirikan, semua Peraturan serta Ketentuan yang ketat dan terarah terpampang di dinding A.Yos Dojo Batu, Malang, sebagai dojo pertama kelahiran Perguruan.
Bak pepatah mengatakan : Gajah berkelahi dengan gajah, pelanduk mati ditengah tengah. Tetapi bedanya, pelanduk kecil imut imut dari Batu ini tidak mati ditengah tengah, bahkan selamat dan loncat dengan lincah menghindari tumbukan tumbukan itu. Eksistensinya tetap kokoh hingga kini, 41 tahun kemudian. Semua ini karena didukung prinsip kuat dan landasan yang sudah tertata dengan baik sebelum kelahirannya serta tidak terombang ambing dan terimbas oleh pengaruh dari manapun.
Lalu, mungkin karena gemes dan iri melihat benih tak berarti dan dinilai rendah tanpa mutu dari desa ini tetapi sanggup tumbuh menjadi berarti dan meluas. Diterima masyarakat secara wajar karena penampilan dan aromanya berbau segar dan altruistis.

Tiba tiba, laksana lolongan seekor serigala kelaparan, pada tanggal 2 Desember 1971 muncul di Harian Umum Nasional terkemuka, tulisan seorang Karateka, Sarjana, dengan judul : SILSILAH ALIRAN KARATE. Banjak Aliran Aliran Gadungan. Bahkan Ada Jang Ngaku Ber ” DAN X”. (Oyama tentunya yang dimaksud)

Kalau sekedar menulis Silsilah Perkaratean tanpa mencantumkan Kyokushinkai Karate dan Founding Fathernya (Oyama) secara mengejek dan melecehkan, tidak jadi masalah. Memang Mas Oyama terlalu muda sebagai Tokoh Karate dibanding Tokoh Tokoh sebelumnya yang sudah lama ada sejak Karate diperkenalkan Master Gichin Funakoshi sekitar tahun 1923 ke Jepang dari Okinawa. Kepulauan Ryukyu.
Tetapi, Karateka Metropolitan yang intelek ini, merasa dirnya paling super, paling melek soal karate, paling perkasa saat itu dan karatenya paling MAHA.
Ilmu Karate yang dianutnya diagungkan paling komplit dan dalam hal Pengetahuan Sejarah Karate, merasa `The Upmost` (Mungkin dari membaca buku yang terjual bebas atau dari cerita gurunya sesuai catatan waktu di Jepang). Sungguh sayang, emosinya menyala nyala dan mengebu ngebu sehingga lupa untuk melihat keyataan yang ada. Buta akan sekelilingnya. Nilainya hanya sebatas `Seorang Text Book Thinker` belaka yang bernyali besar tetapi salah jalan.
Tidak ada salahnya dan bagus sekali menceritakan Sejarah Asal Mula Karate dan jaringan para tokoh tokohnya, tapi sangat disesalkan, dibagian penting yang memang pasti menjadi tujuan utamanya, melihat perkembangan Oyama Karate – Kyokushinkai Karate Do, Perguruan ini tumbuh dengan pesat dari desa ke kota kota yang semula dinilainya ndeso ora ketoro ini.

Di Halaman Olah Raga ada kolom hampir sehalaman penuh, berisi Hikayat Karate di Jepang serta asal muasal para tokoh tokohnya dan ada bagian khusus yang menceritakan bahwa Oyama belajar dari berbagai Guru; katanya: Dengan mentjampur2 peladjaran2 ini, suatu aliran “baru” : Nippon Karate-do Kyokushinkai pada bulan Pebruari 1957, Oyama memproklamirkan diri dengan suatu ‘upatjara’ dikuil Mitsumine ~ Kalimat ini sengaja dikutip sesuai aslinya dengan ejaan lama ~.

Cerita Oyama belajar dari berbagai Guru inipun sudah diketahui dunia karate, bukan hal yang disembunyikan dan janggal. Wajar saja.
Memang benar, diakui oleh Oyama sendiri bahwa dia pernah belajar dan berlatih dibawah berbagai Guru dan Aliran Beladiri. Sebagai kenyataan, memang, tidak seorangpun yang akhirnya digelari Master dalam Seni Beladiri, seperti lain lain; umpamanya : Master Karate yang diakui sebagai Pionir Karate masuk Jepang; yaitu Gichin Funakoshi, Kenwa Mabuni dan lain lain. Master Morihei Uyeshiba dari Aikido, Professor Jigoro Kano yang memodernisir Jujitsu menjadi Judo, Master Doshin So dari Shorinji Kempo yang pernah belajar Shoalin Ssu Kungfu dan berbagai Aliran Silat di Tiongkok tadi yang akhirnya setelah menjadi expert lalu mendirikan Satu Bentuk Baru dengan mencampur aduk apa yang pernah dipelajarinya dan akhirnya memberi ciri khas sistim dan alirannya dari dirnya sendiri. Hal seperti ini wajar, bukan hanya dilakukan Master Masutatsu Oyama thok!

Tokoh tokoh utama serta merupakan landasan asal muasal Seni Beladiri, juga di Kepulauan Ryukyupun (Okinawa) mengembangkan kemampuanya juga dengan mencomot sana sini. Hal seperti ini umum, karena sebagai Induk Seni Beladiri di Asia; yaitu Shaolin Ssu Kungfu di daratan Tiongkokpun, asal mulanya juga dari campur mencampur beberapa ketrampilan sebelum akhirnya dikuasai dengan mahir. Menjadi satu Aliran yang menyatu.
Pendeta Besar Budhist Budi Dharma yang di Jepang disebut Daruma Daishi yang mendirikan Shaolin Ssu Kungfu (Kuil Shaolin) juga berasal dari Benua Kecil India yang memilki banyak corak dan macam cara beladiri. Bukan hal yang aneh dan keliru, apalagi satu perbuatan yang rendah dalam Seni Beladiri. Lagi pula, satu kebudayaan itu pada umumnya memang saling tukar menukar secara tidak sadar, mengadopsi satu sama lain. Saling mengisi tanpa meninggalkan ciri khas Negara asalnya. Tetapi yang mencengangkan ialah; mengklasifikasikan dan mendiskreditkan OYAMA sebagai “Karateka Gadungan” dan Ban Merah yang pernah diterimanya tidak ada di dunia karate, katanya. Ini keterlaluan! Penghinaan ini sebenarnya tidak layak dari pemikiran dan tulisan seorang Intelektual. Juga tentunya Harian Nasional terkemuka yang memuatnya tanpa `check and recheck` keadaan sebenarnya, untuk memperhalus pernyataan emosional yang tidak berbudaya ini.
Tetapi, semua ini tentunya dikarenakan koneksi dan hubungan baik, sehingga ditelan dan dipercayainya begitu saja walau diketahui, pernyataan seperti itu ~ Tidak Berbudaya ~
Belum lagi cara penuh ejekan terhadap mereka yang mengembangkan Aliran Aliran Karate lainnya. Apa pedulinya dia merendahkan status mereka. Tampilkan kelebihan diri sendiri. Ini lebih baik dan terhormat daripada meremehkan pihak lain padahal……..

Perguruan ini selalu berprinsip dasar. Laku atau tidak laku, diikuti atau tidak biar masyarakat yang menilainya. Biarpun Alirannya turun dari khayangan, kalau pengetrapan dan keyataannya tidak bermtu, maka akan dijauhi juga. Penghinaan terhadap nama seorang Oyama dengan melecehkan secara luar biasa ini terjadi karena dilihatnya bahwa perwakilannya berada di desa dan dinilainya ndeso tadi tentunya. Dikiranya terhadap komentar karateka dan intelektual dari Ibu Kota, saya akan bungkam tanpa nyali dan menyusupkan kepala dibawah bantal seperti trenggiling menyembunyikan kepalanya..
Masyarakat akan lari menjauhi. Padahal tidak, justru sebaliknya.

Sanggahan dan jawaban saya dari berita tanggal 2 Desember khususnya mengenai Karateka Gadungan dan dari seorang Pimpinan Redaksi Majalah di Surabaya soal BAN MERAH baru dimuat tanggal 6 Januari dan tanggal 4 Januari 1972. Hampir satu bulan setelah berita pelecehan itu muncul.
Sebenarnya ini satu taktik tak terpuji dan menyimpang dari `Kode Etik Press` yang seharusnya jangan diperbuat dan dilakukan Koran Besar dan ternama. Tanggapan hal yang crucial ini semestinya `Segera!` dimuat pada halaman yang serupa. Tidak ditunda tunda dan diremehkan begitu.
Berita sudah tersebar tapi Hak Jawab dan Hak Sanggah baru dimuat dalam jangka waktu cukup lama. Tujuannya ialah; biar umum sudah meresap akan inti berita dan tujuannya. Sudah lewat minatnya untuk mengharap jawaban sebagai clearing, lalu lupa. Sedangkan berita yang melecehkan ini sudah mengendap dalam sanubari banyak orang. Baru sanggahan keluar. Satu akal licik yang sering dilakukan. Yang diuntungkan pasti si nyinyir. Persis seperti cara cara dalam dunia politik bukan! Atau, yang sering terjadi, karena jawaban dan sanggahan dinilai dari orang pinggiran. Tidak ada power dan nilai yang wah! Saya sangat menyesalkan melihat ini semua. Sekarangpun, dalam bungkusan lebih halus tetap terjadi. Kalau srempetan dan lecehan yang mengatakan bahwa; ada orang orang yang belajar karate beberapa bulan…………lalu mendirikan Perguruan Karate…(Tentunya Perguruan ini juga salah satu tujuan yang dicemoohkan itu).Tidak perlu saya tanggapi dengan tegas saat itu, tetapi akan saya buktikan…..tekad saya sesuai berjalannya waktu.

Sekitar tahun 1963, saat Partai Komunis merajalela dan melakukan perbuatan tanpa rasa perikemanusiaan terhadap lawan lawannya di pelosok pelosok Tanah Air, saya mengkritiknya semua perbuatan ini. Walau saat itu PKI merajai arena adu kekuatan di Tanah Air. Bagi saya; suara hati itulah dasar keberanian dan tekad. Sebaliknya, tahun sekitar kejatuhan PKI setelah G – 30 – S ditumpas, sayapun mengkritik dalam kolom `Surat Pembaca` atas terjadinya pembantaian sesama bangsa dengan tuduhan komunis atau pengikutnya dan merupakan kekejaman Resim Orde Baru apapun alasannya, sehingga demikian banyak orang yang mungkin tidak ikut bersalah dan hanya dimanfaatkan, akibat balas dendam urusan pribadipun, tersingkirkan secara kejam dan tidak manusiawi. Apalagi menindas serta menghancurkan untuk menyingkirkan lawan lawan politik yang tidak disenangi Resim Baru! Pada waktu itu tulisan saya ditanggapi ” Seperti Katak Dibawah Tempurung”.
Saya tidak merasa kecil dan rendah diri walau sekali lagi; hanya suara dari desa! Meskipun sebenarnya; itu adalah `Suara Bathin` saya yang menjerit bersama sama mereka yang masih mempunyai hati nurani tentunya, melihat kekejaman antar sesama bangsa yang tiada taranya dan jarang terjadi dimasa damai. Direstui Penguasa. Apakah itu pantas dalam Negara berasaskan ~ PANCASILA ~ .
Kembali lagi soal pelecehan pada `OYAMA`. Siapa yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti, dia itu bodoh.

BAN MERAH yang diterima Master Oyama, bukanlah merupakan tingkat DAN SABUK MERAH TERTINGGI, atau DAN diatas DAN X. Tingkat DAN tertinggi.
Inipun, DAN diatas DAN V lebih bersifat seremonial karena berbagai pertimbangan saja.

BAN MERAH Itu hanya sebuah ~ Ban Kehormatan ~ yang dianugerahkan atas segala jasanya sebagai penghargaan bahwa Mas Oyama telah berusaha keras memperkenalkan Karate ke Dunia dan berhasil. Berarti juga mengangkat derajat salah satu kebudayaan yang merupakan kebanggaan Negeri Sakura ini. Wajar saja. Siapapun yang memberinya, sebagai penghargaan dan penghormatan sebuah jasa.

Soal cemoohan KARATEKA GADUNGAN, sanggahan saya baru dimuat pada tanggal 6 Januari 1972. Hampir satu bulan kemudian. Demikian intisarinya: Kalau memang Oyama itu Karateka Gadungan, bagaimana dengan Perdana Menteri Jepang yaitu : Eisaku Sato ( juga Takeo Miki ) dan Tokoh Tokoh Dunia yang bersedia duduk sebagai Ketua Kehormatan ( Honorary Chairman) dan Anggota dari Organisasi Karate Baru ini dibawah Pimpinan Mater Oyama sebagai Founding Father. Apakah mereka itu juga Perdana Menteri dan Tokoh Tokoh Dunia Gadungan ?
Kalau srempetan srempetan pelecehan pada Perguruan ini justru yang saya kategorikan sebagai ‘Katak dibawah tempurung’. Tahunya cuma lingkungannya sendiri.

PERNAHKAH mereka alami walau di Jepang sana, apalagi berlatih di Indonesia yang pada umumnya penuh kemanjaan dan hanya mengagungkan bahwa Tingkatn DAN dianggapnya sudah segalanya. Sering hubungan Tingkat DAN terkatrol hanya karena si penyandang dan statusnya atau karena hubungan dekat. Padahal antar keduanya tidak menjamin dan tidak ada hubungannya.

Bahwa apa yang saya rasakan dan alami dalam beberapa bulan gemblengan pada saat mengikuti `Special Black Belt Course For Instructor` di Tokyo Honbu setelah dasar dasar saya kuasai di Indonesia sekitar 1964 – 1967. Kesengajaan untuk mengikuti Program Latihan yang keras, padat dan intensif ini. Bahwa Program ini bukan latihan karate dari Karateka Gadungan, tetapi Karateka beneran yang tidak mudah dilewati dengan santai.
Menjelang akhir 1970 itu saya kembali ke Indonesia dengan tingkatan DAN I. Sebagai tanda pengesahan DAN I saya di Indonesia

Saat berada di Tokyo Honbu, tiap hari saya ikuti Program Padat dan Intensif 3 kali latihan sehari termasuk hari minggu dari pukul 10.00 – 12.00, pukul 15.00 – 17.00 dan terakhir pukul 19.00 – 21.00. Program ini memang diharapkan oleh Master Oyama bisa saya lewati karena keterbatasan waktu untuk tinggal di Tokyo, termasuk kota termahal di dunia sedangkan saya hanya seorang pemuda bokek dari Batu – Malang. Hal ini sangat disadari beliau.

Dengan Program Padat ini, berarti dalam kurun waktu satu bulan latihan, berjumlah rata rata 90 kali. Ini berarti sama dengan latihan 10 bulan warga umum – biasa dengan jadwal ‘rajin’ apabila dalam satu minggu berlatih 2 kali, berarti dalam waktu sebulan jumlah maksimal 9 kali.
Sehingga dengan demikian, satu bulan yang saya lalui dan alami; yaitu 90 x sebanding dengan 10 bulan latihan warga umum kalau dia benar benar rajin tadi.
Dalam hitungan beberapa bulan yang saya tekuni, sebanding dengan beberapa tahun latihan warga rajin jadi. Dengan latihan yang keras dan padat. Belum lagi Latihan Jiyu Kumite ( Free Fighting ) yang setiap hari pasti dilakukan pada salah satu sesi.
Dengan sistim intensif ini memang agak jarang seseorang bisa bertahan, tanpa diikuti keyakinan dan semangat murni dari kehendak bathin yang sadar untuk apa semuanya ini………

Sungguh terasa berat dan kadang sangat menyiksa, tapi harus saya lewati dengan kesungguhan dan sadar diri akan rasa tanggung jawab. Karena saya diharapkan dan dinanti semua yang ada di Tanah Air. Yang bisa membayangkan ini semua ialah Karateka yang pernah berlatih atau mereka yang tergembleng sejak lahirnya Perguruan ini.
Bahkan Rekan rekan warga anak Jepang sendiri yang melihat Daftar Presensi saya di dinding Tokyo Honbu Dojo (Dulu, Daftar Presensi ditempelkan didinding untuk masa latihan tiap bulan), hampir tidak percaya dan sulit menerima sesuai logika mereka, karena dalam sebulan rata rata saya berlatih full 90 x, sedangkan mereka belum tentu berlatih 5x sebulannya.

Mereka berkata: “You`re crazy !”. “It`s impossible, how could you do that ?”. “How could you bear it?” dan sejenisnya, minta dijelaskan alasan dan tujuan saya. Pertanyaan ini selalu disampaikan penuh keheranan pada saat latihan belum dimulai atau seleasai latihan. Mereka sungguh terheran heran dan sering mengelilingi saya. Dari Indonsia pula, yang sering mereka dengar bahwa bangsa ini kurang rajin.`Sluggish alias Pemalas !

Sebagai akibat, saat berangkat berat badan saya 93 Kg segera susut menjadi 72 Kg selama berlatih di Honbu. Hanya dalam beberapa bulan.

Kondisi phisik saya ini menggelisahkan rekan rekan saya para mahasiswa di Tonan Asia Gakusei Ryu di Ikebukuro, Tokyo dibawah asuhan Pendeta Katoh yang sejak kedatangan di Tokyo sudah saya kenal melalui Sdr. Yan Okuyama, salah seorang penghuni Asrama Mahasiswa & Pelajar yang berada sekitar beberapa puluh meter disebelah kanan Tokyo Honbu. Satu kebetulan. Seperti sudah diatur saja.
Rekan baik hati yang menjemput saya waktu tiba di Haneda Air Port bersama Atsushi Kanamori sensei, yang sekitar Perang Dunia II pernah sebagai guru di Manado, tinggal di Nagoya sekitar 600 Km dari Tokyo, Yoshio Kanamori san, Manager Peralatan J.A.L. adiknya ini tinggal di Tokyo serta Sdr. Yan Okuyama, berasal dari Bogor dan sudah berapa tahun berada di Ikebukuro, Tokyo untuk Study dengan bantuan dana Pampasan Perang Jepang kepada mahasiswa Keturuan Jepang – Indonesia di masa penjajahan pada Perang Dunia II.
Entah dimana sekarang teman yang amat baik ini. Di Indonesia ataukah tetap di Jepang ?

Tiga pribadi ini memjemput saya hanya dari hasil korespondensi segitiga sebelumnya. Masing masing belum pernah jumpa sebelum malam itu dengan tebaran kain panjang bertuliskan: Selamat datang tuan Nardi T.Nirwanto wakil Indonesia. Mencengangkan sebagian yang melihatnya. Khususnya penumpang yang juga datang dari Indonresia.

Bahkan Master Oyama ikut kuatir melihat kondisi phisik saya walau saya sehat sehat saja. Diberinya saya Vitamin dan Food Supplements. Semua ini dan terutama karena beratnya latihan yang saya jalani diluar kewajaran dan juga pikiran serta sedikit ada perasaan ‘Home Sick’ – Kangen Rumah yang wajar terjadi karena sudah beberapa bulan meninggalkan Tanah Air dan untuk pertamakali.
Masih untung, sebelumnya, masa saya berumur sekitar 20 tahun, bertahun tahun pernah berada di Jakarta, sehingga agak terbiasa jauh dari rumah.
Bukan bertujuan membanggakan diri tanpa alasan. Tetapi hanya ingin menepis lecehan yang mengatakan; bahwa hanya beberapa bulan latihan atau hanya membaca buku lalu kembali menjadi Pimpinan Perguruan ( Guru Karate ) serta seolah olah membanggakan mereka yang bertahun tahun tinggal di Jepang sebagai Mahasiswa sambil berlatih karate, tetapi pada kenyataannya, minimnya jam latihan yang diikuti, mungkin dalam satu bulan tidak lebih dari 4 – 5 kali berlatih belum tentu bersungguh sungguh.
Bahkan di Tokyo Honbu sendiri, banyak orang asing yang mencoba mengikuti latiham, bukan yang special trainings, hanya jadwal biasa, tetap banyak mbolosnya dan banyak jalan jalannya dari mengikuti jam latihan. Setelah satu – dua minggu, lalu tidak tahan dan segera pulang ke negaranya. Hampir semuanya, akibat rasa malu, tidak pamit Master Oyama yang saat datang berjanji akan berlatih keras dan bersungguh sungguh.

Rekan saya yang hampir tiba bersamaam dan berlatih di Tokyo Honbu, Millian dari Yogoslavia saat itu, setelah memaksakan diri sekitar 15 hari berlatih, tidak tahan dan langsung angkat tas dan kembali ke negaranya. Tinggal satu aparment dengan saya, padahal tidak berlatih setiap hari.

“Tidak tahan” katanya, akibat kerasnya gemblengan Shihan Shigeru Oyama, Shihan Tadashi Nakamura yang kebetulan datang dari A.S dan melatih bersama pada salah satu sesi latihan saat itu.
Mereka, jenis karateka yang suka melecehkan dan merendahkan orang lain, justru biasanya pribadi yang berlatih karate seperti orang menengadah keatas mengharapkan embun pagi ( DAN ) jatuh diatas pangkuannya. Enteng saja melecehkan, meremehkan dan mendiskreditkan pihak lain. Bahkan menghina tanpa etika.
Sekarangpun, nada suara jenis demikian ini masih sering berterbangan searah angin berembus, walau masa tigapuluh tujuh tahun telah berlalu sejak pendiskreditan Kyokushinkai Karate Do dan nama Oyama pertama muncul secara bombastis di akhir tahun 1971 lalu.
Hanya dalam bentuk berbeda melalui bisik bisik dan gossip. Terutama dari pribadi pribadi yang terlanjur hatinya sudah terisi dengan suara suara kurang simpatik dan ditelannya.

Satu perbuatan yang tidak layak ditiru oleh seorang karateka yang mempunyai karakter dan bermartabat. Karateka haruslah memupuk jiwa ` Ksatria `.

Sejak diresmikan Federasi Olah Raga Karate Do Indonesia pada Kongres PORKI IV menjelang akhir tahun 1972 yang pembentukannya dipelopori Bapak Widjojo Soejono, suara suara bermutu rendah ini tidak lagi muncul di Press dan terdengar nyaring secara terang terangan karena Ketua Umum I PB FORKI ini tegas dalam bersikap demi menjaga nama baik, mentalitas dan karakter perkaratean di Indonesia. Perkaratean lebih tenang tanpa gejolak berarti, walau suara minir dan pendiskreditan satu kepada yang lain berjalan terus. Dari pribadi ke pribadi sehingga sering hati saya tersentak akan pertanyaan pertanyaan yang masih berbau pelecehan kepada Kyokushnkai Karate dan Mas Oyama saat berbincang bincang secara umum di tempat umum.

Memang; Kyokushin – Kaikan Karate Organization banyak bergejolak belakangan ini, khususnya setelah Sosai Oyama meninggal 1994. Bahkan munculnya IKO 1, IKO 2, IKO 3, IKO 4 disamping IKOSOSAI yang Walinya adalah Kuristina Oyama, puteri kedua Master Oyama yang masih menjalankan cita cita Pendiri Aliran ini.
Keadaan ini sedikit banyak memberi tamparan yang cukup telak pada Pribadi Pribadi Karateka yang masih ingin mempertahankan segala tradisi dan nama Kyokusinkai Karate yang telah diletakkan oleh Pendirinya. IKO adalah sebutan untuk `International Kyokushin – Kaikan Karate Organization`.

Sayang, cita cita luhur Pendirinya yang semula menjiwainya semangat Aliran Termuda ini, berubah dan bergeser di tangan Karateka yang mengkormesiilkan aliran ini secara keterlaluan dan tidak tanggung tanggung dengan melangkahi segala rambu rambu yang dahulu dihindari oleh pribadi pribadi yang mengaku sebagai penerus Sosai. Padahal mereka ini hanyalah sebagai `Perampas Tidak Terhormat` demi keuntungan pribadi belaka.
Diperebutkan secara tidak layak karena memang masih mempunyai nilai, khususnya nilai komesial!

Dalam kesedihan hati mengenang meninggalnya Madam Oyama beberapa tahun lalu setelah Sosai Oyama pada 26 April 1994 meninggalkan para pengikut `The Ultimate Karate` ini, puterinya, Kuristina Oyama yang pada saat saya di Tokyo Honbu tahun 1970 masih baby dan saat digendong Madam Oyama dan didekatkan pada saya seolah olah menyapa, sering mengusap usap dahi dan wajah saya dengan tangannya yang mungil, bisa dirasakan suara bathinnya adanya rasa kekecewaan yang dalam akan apa yang menimpa keluarga Sosai dari sikap beberapa senior yang ingkar dan merasa sebagai pemilik kebesaran nama Pendiri ini dan merampasnya.
Sebenarnya sulit untuk dipungkiri bahwa semua ini adalah hasil perjuangan Master Oyama sebagai Founding Father.

Terlihat nyata setelah Sosai Oyama meninggal dunia, manusia manusia penjilat penuh keserakahan serta penghianat disekeliling Master Oyama terlihat dengan jelas belangnya.
Wajah wajah domba tapi hatinya serigala seperti saya katakan selalu akan tetap gengtayangan apabila melihat santapan nikmat berada didepannya selama dunia masih berputar.
Tidak peduli walau harga dirinya harus dipertaruhkan.
Budo Karate menjadi Budak Karate ! Karate yang memperbudak dirinya jadi manusia serakah.

Perguruan ini sejak semula tidak ingin berkiblat dengan salah satu IKO itu, karena menurut penilaian saya berdasarkan kenyataan; IKO itu adalah singkatan: “Institusi Karate Obralan” yang oleh Para Senior dan mereka yang masih berkehendak baik, ingin dikoreksi dan dipersatukan dijalur yang semula. Apa mungkin?
Terbukti bahwa `Gajah Mati` taringnya masih berharga untuk diperebutkan. Tetapi Karateka yang tetap berjalan dijalur yang baik dan benar, seharusnya berusaha mempertahankan `Roh dan Semangat` yang pernah ditanamkan di hati mereka. Ini yang lebih utama dipertahankan. Bukan memperdagangkannya. Apalagi secara murahan. Tetap menghargai dan menghormati Bapak Pendirinya secara wajar.

Jangan sampai berebut simbol dan identitas hanya bertujuan untuk keuntungan pribadi, laksana barang untuk diperdagangkan dan bahkan dengan cara cara yang meruntuhkan dan menghancurkan seluruh bangunan dengan mengais tulang tulang berharga layaknya seekor serigala lapar.
Berikutnya ini adalah pandangan dan prinsip Perguruan.

VISI PERGURUAN
KARATE BAKU & KARATE DALAM KEMASAN OLAH RAGA.

PERTAMA:
Sesuai dengan tuntutan dan perkembangan jaman, maka segala sesuatu yang memungkinkan, diusahakan untuk bisa dijadikan tontonan agar lebih menarik, tidak tertutup dan makin mendekatkan diri pada para penggemarnya. Sebagai konsekuensi, semua bentuk dan ciri serta sistim Seni Beladiri latah dan ikut dijadikan tontonan juga, yaitu: Seni Beladiri yang di olahragakan, berarti Seni Beladiri yang sifat dan penampilannya sangat berbeda dengan Seni Beladiri yang baku karena yang bersifat olah raga ini, diberi batasan batasan jelas layaknya dalam pertandingan olah raga yang lain. Pengertian yang berbeda ini sering dicampur aduk. Terjadi salah kaprah dalam pengetrapan serta pelaksanaannya.

Kalau pada masa silam jauh kebelakang, Seni Beladiri dipertandingkan bertujuan utama untuk meninggikan gengsi, meningkatkan identitas serta popularitas pribadi maupun martabat satu Perguruan untuk bisa menguasai dan menundukkan yang lain dengan merajai dunia persilatan dalam satu pertandingan yang brutal dan saling membantai, maka; di jaman majunya peradaban ini, pertandingan Seni Beladiri benar benar merupakan Seni Beladiri yang diolahragakan seperti disebutkan diatas. Dibatasi dan diberi koridor yang jelas dengan Peraturan dan Ketentuan yang mengikat untuk memperkecil segala risiko yang bisa menimbulkan kefatalan.
Layaknya pada Olah Raga lain seperti Sepak Bola, Bulu Tangkis, Gulat, Loncat Tinggi, Renang, Tinju dan lain lain. Dalam Seni Beladiri yang dipertandingkan, bisa kita lihat nyata satu usaha kearah Seni Beladiri yang diolahragakan; umpamanya: Jujitsu yang dimodernisir dan lebih diilmiahkan sistimnya oleh Professor Jigoro Kano menjadi Judo. Pertandingan Judo lebih enak ditonton. Walau Judo bakunya tetap bermanfaat sebagai alat beladiri. Shiaolin Ssu Kungfu dari Daratan Tiongkok, di Jepang oleh Master Doshin So dirangkum menjadi Shorinji Kempo ( Bahasa Jepang ) dan Kempo bisa dipertandingkan dengan memakai sarung tangan seperti pada tinju, pelindung dada, helm di kepala. Berbagai Body Protectors. Berarti diolahragakan.
Karate dipertandingkan dan diberi batasan seperti juga yang lain lain. Bukan karate baku, melainkan karate yang diolahragakan. Semuanya ini demi melindungi Para Petanding dan memperkecil risiko yang bisa saja terjadi pada setiap gerak langkah manusia, apa itu jenisnya dan dimanapun.

Dalam karate setidaknya ada dua versi sistim pertandingan; yaitu: Non Contact System (Controled System) yang dianut World Union Of Karate Do Organizations (WUKO) bersumber dari Federation Of All Japan Karate Do Organizations (FAJKO) yang semula diadopsi dari Japan Karate Do Association ( JKA) dan Full Contact System dari Kyokushin – Kaikan International Karate Organization yang bersumber dari Oyama`s Karate System. Terdapat satu `Sistim Tengah` hasil modifikasi dari keduanya, terbanyak ada di A.S. yaitu: Sistim Semi Kontak dimana Para Karateka yang bertanding dilengkapi dengan Body Protectors antara lain; Pelindung Kepala, Dada, Kaki, Tulang Kering, Sarung Tangan seperti Petinju bahkan sepatu khusus dan diperkenankan malancarkan pukulan dan tendangan langsung mengenai lawan. Tetapi kurang populer.

Sudah tentu, satu pertandingan karate yang diolahragakan untuk mencapai prestasi olah raga layaknya olah raga lain jauh berbeda dengan Karate Baku sebagai Seni Beladiri yang tidak mengenal batasan berupa Peraturan dan Ketentuan sebagai koridornya. Bebas dalam arti yang sesungguhnya.

Kejuaraan Karate yang diolahragakan memang baik dan memberi manfaat berganda karena disamping memperkenalkan dan mendekatkan karate yang enak ditonton tadi pada para penggemarnya, juga memberi kesempatan pada karateka yang ingin mencapai prestasi `Karate Olah Raga` layaknya pada olah raga lain asalkan dua pengertian ini; yaitu: ~ Karate Baku dan Karate Olah Raga ~ pengertiannya tidak dicampur adukkan satu sama lain. Sebab kalau demikian, akan terjadi keadaan `Chaos` serta amburadul dan pasti akan tumpang tindih satu sama lain. Jalurnya dipaksakan jadi satu yang akan menimbulkan kejanggalan dan penyimpangan tujuan satu sama yang lain. Seni Beladiri Karate menjadi satu bentuk seni `Omong Kosong Besar`.

Sebaiknya, satu Perguruan Karate jangan hanya mementingkan atau memfokuskan diri dalam mencari karateka yang berbakat untuk dipertandingkan dan mampu diterjunkan pada satu kejuaraan dengan target : JADI JUARA tentunya. Memiliki seorang Karateka yang berprestasi, apalagi jadi JUARA, layak bangga, tetapi bukan akhir tujuan dan segalanya. Jangan sampai menjadi tujuan utama sehingga segala yang kita lakukan (Perguruan) hanya semata mata difokuskan pada tujuan ini saja. Yaitu; pemikiran utamanya: Menyelenggarakan satu KEJUARAAN KARATE.
Tujuan ini dangkal dan sebenarnya satu kejuaraan hanyalah sebuah `Side Show` saja, laksana melakukan `Tameshiwari` (Tehnik Memecah Belah Benda Keras) dalam karate. Sebab, satu Perguruan Karate yang benar dan terarah, tidak mengadakan KEJUARAAN pun, pembinaannya harus berjalan untuk bertanggung jawab menampung sekian banyak warganya yang samasekali tidak bertujuan untuk mencapai prestasi Olah Raga Karate. Jumlah ini lebih dominan dan perlu menjadikan perhatian pokok.

Kalau tidak, maka warga yang jumlahnya jauh lebih besar ini akan dikorbankan dan hanya dianggap sebagai pelengkap belaka. Jadinya, seperti sebuah Klub Olah Raga yang mengkhususkan diri mencari bibit olahragawan terbaik; umpama klub Bulu Tangkis, Tenis Meja, Sepak Bola dan sejenisnya yang tujuan utamanya memang spesifik mencari Olah Ragawan yang berprestasi. Untuk diterjunkan dalam satu event kejuaraan. Mencari bibit bibit ` Juara`. Hal ini memang wajar pada sistim Olah Raga pada umumnya.

Kalau tidak, maka warga yang jumlahnya jauh lebih besar ini akan dikorbankan dan hanya dianggap sebagai pelengkap belaka. Jadinya, seperti sebuah Klub Olah Raga yang mengkhususkan diri mencari bibit olahragawan terbaik; umpama klub Bulu Tangkis, Tenis Meja, Sepak Bola dan sejenisnya yang tujuan utamanya memang spesifik mencari Olah Ragawan yang berprestasi. Untuk diterjunkan dalam satu event kejuaraan. Mencari bibit bibit ` Juara`. Hal ini memang wajar pada sistim Olah Raga pada umumnya.
Ini lebih tepat!
Sedangkan Perguruan Karate, Institut Karate atau apa nama institusinya yang bertujuan membentuk karateka seutuhnya, tidak seharusnya memfokuskan diri hanya sekedar mengutamakan dan mencari satu – dua karateka untuk jadi juara dengan mengabaikan atau setengah mengabaikan jumlah besar karateka yang satu dan lain alasan memang tidak ingin atau tidak berkemampuan tampil dalam satu kejuaraan.
Bangga boleh memiliki JUARA, tetapi PUAS belum. Rasa puas didapat apabila Pembinaan Para Karateka menghasilkan Pribadi yang layak jadi panutan karena sikap mental (Mental Attitude), Moral, Karakter serta tindak tanduknya bisa dijadikan teladan.Perguruan Karate yang hanya memfokuskan diri mencari satu dua orang karateka untuk dipersiapkan dalam Kejuaraan, apapun nama dan tingkatannya, lambat laun akan surut dan bahkan redup menuju keruntuhannya.
Kekuatan satu Perguruan Seni Beladiri adalah: MORAL, MENTAL dan KARAKTER tadi.
Bukan digantungkan kepada beberapa Karateka Juara yang segera akan berlalu bagi kepentingan kesinambungan Perguruan. Juara untuk dikenang sedangkan semangat, sikap mental karakter karateka yang terbina dengan baik akan bertahan untuk masa jauh kedepan.

PERGURUAN KARATE DIKELOLA LAKSANA DALAM BISNIS.
II.

Kita semua menyadari, bahwa tidak ada satu gerak langkah dan usaha manusia apapun yang lepas dari kebutuhan dana untuk operasionalnya. Kecil apalagi usaha besar.
Walau demikian, sesuai dengan `Falsafah Bushido` yang universal dan mendasari cara pandang dan kerja satu Institusi yang bergerak dan bertujuan membentuk karakter Karateka yang bisa dipertanggungjawabkan, maka, jangan sampai terjadi pencampur adukkan dalam hal pengelolaan Perguruan (Institusi) Karate dengan Tata Cara dan falsafah ` Berbisnis`.

Harus dipisahkan. Bukan berarti ` Businessman tidak boleh dan tidak bisa berada dan bahkan mengelola Perkaratean, atau Falsafah Berbisnis itu keliru, tidak demikian. Tetapi dua pekerjaan ini, metode dan penanganannya harus benar benar dipisahkan. Hal Ini yang tersulit dan memerlukan pengertian dan kesadaran hati.
Businessman sudah terbiasa dengan gaya dan penampilan `Seorang Boss` yang melandasi semua sepak terjangnya pada `Kekuatan Uang` (Capital Power), sedangkan Pimpinan dan Senior Perguruan melandaskan gerak langkahnya pada Hati Nurani penuh Keikhlasan dan Pengorbanan. Hubungan bathin yang diikat oleh nilai nilai luhur, saling harga menghargai dan hormat menghormati satu sama lain sampai kepada wargapun. Bukan satu power berlandaskan matari yang membackinginya, tetapi `Semangat Budi Luhur` yang bertumpu pada Sikap Moral – Mental Spiritual dan Karakter.

Kita harus bisa membedakan masing masing karakter dan landasan pemikiran yang jauh berbeda satu sama yang lain ini. Tidak `Mencampur Aduk` antara keduanya. Juga harus tajam dalam membedakan, satu institusi karate untuk Pembinaan Manusia sebagai Karateka Utuh dan pembentukan Karateka Instants untuk satu tujuan jangka pendek.

Dalam mengelola satu institusi karate, jangan dan tidak layak diterapkan istilah `Boss` yang sudah umum dalam Bisnis, khususnya yang `Mega Bisnis`. Juga, jangan ada komando layaknya seorang ~ Majikan ~ kepada bawahan. Semua ikatan harus berlandaskan saling rasa hargai menghargai dan saling hormat menghormati tadi.
`Karate begins and ends with courtesy`
Hirargi dalam struktur Perguruan tetap ada, tetapi semua ini diperlukan hanya untuk menjamin berjalannya roda secara wajar sesuai Cita Cita, Visi & Misi agar disiplin organisasi bisa sesuai jalur yang telah digariskan. Bukan kekuasaan dan kewenangan atara Boss dan Karyawan. Antara majikan dan buruh. Antara atasan dan bawahan.

Perguruan Karate, sistimnya `Top – Bottom`, dari atas kebawah, bukan dari bawah keatas, seperti pengertian demokrasi pada umumnya di abad kekuasaan rakyat ini, tetapi walau sistim Top -Bottom, maknanya bukan sekedar untuk `MEMERINTAH` berdasarkan power dan wewenang, tetapi asas ini bertujuan utama adalah agar jalur menuju sinkronisasi dan keseragaman yang harmonis bisa tercapai dan semua dijalankan atas dasar kearifan dan kebikjaksanaan. Sekali lagi; Moral, Mental – Spiritual dan karakter menjadi landasannya.

Kalau dua karakter yang berbeda ini dicampur aduk dan dijalankan dalam satu jalur dengan mengabaikan perbedaan landasan dasar antar keduanya yang jauh berbeda, bahkan bertolak belakang, maka cita cita satu Perguruan Karate akan bubar dan tidak akan tercapai.
Perguruan Karate dikelola berdasarkan `Pengabdian yang tulus dan pengorbanan` akan menjurus dan dipaksakan berubah menjadi bentuk komersialisasi pada tiap titik kesempatan dalam mencari dan mengejar keuntungan materi seperti pada bisnis. Pemikiran utama adalah `Pofit Making dan Profit Taking`. Keduanya tidak akan sinkron.

Kalau mencari dana operasionalnya, lakukan cara lain selama tidak menimbulkan tindakan dan perbuatan yang kontroversial dengan `Jalan Karate`. Carilah jalan yang wajar pada jalur karate yang bisa diterima dan difahami secara umum.

Dalam Perguruan karate yang prinsip dan landasan dasarnya adalah `MEMBINA`, maka Warga dihargai dan ditempatkan pada posisi sebagai SUBYEK yang harus dilayani dengan wajar dan dibina dengan segala cara yang baik dan penuh perhatian serta pengorbanan untuk menjadi ~ Pribadi ~ yang berkarakter dan bermentalitas baik. Buka sekedar OBYEK! Asas To take and to give – To give and to take yang berimbang antar Perguruan dan Warganya menjadi sangat tinggi nilainya dan penting. Menjamin Perguruan bisa bertahan dan berjalan sesuai norma dan moral yang baku untuk melangsungkan eksistensinya. Falsafah dasarnya memang demikian.

Sedangkan dalam berbisnis, kecil apalagi bisnis raksasa, maka MASYARAKAT (merupakan seolah olah Warga / Anggota Perguruan), sering diperlakukan dan dihargai tidak lebih sebagai `OBYEK PENDERITA` belaka. Walau pada kenyataan sebenarnya, masyarakat dan kemampuannya adalah konsumen yang bisa menentukan hidup matinya satu Usaha / Perusahaan. Konsumen pada umumnya harus selalu menanggung beban apa saja yang diminta dan ditentukan dalam satu `Bisnis` dengan segala policy dan taktiknya, karena salah satu falsafah dasar segala tingkat Usaha, Bisnis kecil terutama besar adalah: Profit making and Profit taking tadi.

Sering bahkan hampir tidak peduli bahwa perbuatan dan tindakan membuat rakyat menderita, rekan rekan bisnisnya dan akibatnya yang lain tidak sanggup bersaing karena kekuatan dibaliknya, dana, tidak akan mampu berkembang dan akhirnya runtuh.Ini memang jalan hidupnya dan berlaku dimana mana.
Satu perbedaan sudut pandang dan tujuan yang saling bertolak belakang antara kedua institusi ini. Bukan dipandang dari sudut besarannya. Tetapi esensinya. Jangan pernah mencoba untuk disinkronkan dalam satu jalur atau tujuan masing masing akan berantakan.

PERGURUAN KARATE DIKELOLA LAKSANA SEBUAH PARTAI POLITIK.
III

Pengalaman mengamati riwayat masa jaya hingga runtuhnya Perguruan Silat Terkenal Shiaolin Ssu Kungfu di daratan Tiongkok hingga ke masa jaman modern ini, hakekat peristiwa dan sebab akibatnya tetap sama.
Keruntuhan satu Perguruan Seni Beladiri pada umumnya karena statusnya tidak lagi mandiri. Muncul kekuatan, pengaruh dominan layaknya dalam dunia berpolitik, baik dorongan kekuatan dari dalam maupun pada umumnya karena pengaruh anasir luar dari satu kekuatan luar biasa yang dominant serta sangat berkeinginan mencari pijakan secara terencana, menyusup masuk kedalam sambil menusuk jantung dan memporak porandakan tatanan yang sudah berjalan baik menjadi colapse.

Perguruan yang semula berpijak pada prinsip dan keyakinan yang kuat dalam pola berpikir penuh semangat kepribadian luhur, berbalik dan terisi pribadi pribadi tidak ubahnya sebuah Organisasi Politik dan cara kerja para politisinya yang selalu pandai memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mencari celah memperoleh keuntungan pribadi dan golongannya. Hasil yang dicapai tidak mengharapkan selalu keuntungan berbentuk materi, tetapi jalur pengaruh keatas. Salah satu yang sering terjadi ialah; Perguruan dan Institusi ini sekedar dipakai sebagai pijakan batu loncatan meraih kedudukan yang jauh lebih besar dan samasekali tidak ada sangkut pautnya dengan Institusi yang sudah diperalat ini. Kenyataan, apabila maksud dan tujuan sudah tercapai, maka ditinggalkannya pijakan ini dalam keadaan merana dan terlupakan.

Apabila sebuah Perguruan Seni Beladiri, apapun bentuknya, aliran dan sistimnya, dikelola dan di manage layaknya sebuah Ormas apalagi sebuah Orpol, niscaya didalamnya mau tidak mau akan tumbuh dan bermunculan faksi faksi dan fraksi fraksi yang sering memicu suasana penuh pergolakan, ketegangan, intimidasi satu sama yang lain, keributan dan saling geser menggeser, sikut menyikut dan senggolan maut untuk saling menjatuhkan bahkan seperti dalam dunia Politik dan Partai Politik serta Para Politikus yang pada umumnya mencapai power dan kekuatan berlandaskan jumlah suara yang besar. Jumlah menentukan segalanya. Bukan mental, moral dan karakter.

Siapa saja, lelompok apapun, golongan manapun dengan dukungan jumlah dan suara terbanyak, dialah yang memegang tongkat komando dan kekuasaan. Tidak peduli apapun akibatnya.
Demokrasi selalu berdasarkan kekuatan jumlah, sering bahkan tidak berkapasitas layakpun, seorang tokoh karbitanpun bisa tambil sebagai pemegang pimpinan asalkan didukung suara terbanyak. Menghalalkan segala cara.
`Demokrasi` dalam berpolitik dan politik itu sendiri sering justru dimanipulir oleh segolongan kecil politikus dengan mengatasnamakan suara rakyat. Hal ini jauh berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan pengertian `Demokrasi` dalam Perguruan Karate.
Dalam pengertian `Demokrasi Politik` (Kekuasaan Rakyat), Masyarakat Warga Negara (Warga Perguruan) yang disanjung sebagai Pemegang Kekuasaan itu sebenarnya hanya sebagai obyek yang dimanfaatkan untuk mencapai kekuasaan itu tadi. Hiburan dan sanjungan: Fox populi fox dei – Suara rakyat adalah suara Tuhan. Benarkah.
Rakyat yang mana dan rakyat yang bagaimana?
Kekuasaan memimpin sepenuhnya tergantung kenyataan siapa yang mendapat dukungan berjumlah besar, walau hasil ini dicapainya hanya berdasarkan trick obral janji dan penampilan yang meyakinkan, tetapi pada kenyataan akhir tidak satupun apa yang dijanjikan ditepati dan dipenuhi.
Demokarasi adu jumlah, adu omong, adsu lihay dan adu janji.
Biasanya, Pemimpin hanya memikirkan kedudukan diri sendiri dan kelompoknya untuk mempertahankan posisinya. Rakyat lagi yang diperalat dan seterusnya.
Besok, atau beberapa saat lagi jumlah bergeser, maka kekuasaan berpindah dan berubah lagi policynya.

Bayangkan, bukankah keadaan seperti ini akan menjadi satu arena dan pergumulan yang `Sontoloyo`, satu istilah Bung Karno lagi, seandainya kemenangan akibat jumlah besar itu akhirnya masyarakat dipimpin oleh orang yang tidak becus dan tidak berkarakter. Kita lihat banyak contohnya.
Pemeo mengatakan, seorang Politikus dan cara cara berpolitik itu pada umumnya:
“Pagi kedele sore tempe, pagi teman sore lawan”.
Persahabatan itu berdasarkan tujuan dan kepentingan jangka pandek. Tidak kekal. Semua bisa dihalalkan melalui segala cara. Terbentuknya rasa persahabatan sering hanya demi kepentingan serta tujuan yang ingin diraihnya dengan saling memperalat. Demokrasi diperalat untuk kepentingan sesaat. Sebuah kenyataan yang sulit dipungkiri.

Sedangkan dalam ukuran kecil, satu Perguruan Karate (Seni Beladiri), semangat yang ditanam didalam jiwa Para Warga (Masyarakat) adalah Persahabatan berlandaskan Keluhuran Budi dan Ikatan Lahir Bathin dari hati nurani yang tulus. Sempurna mungkin tidak, tetapi demikianlah cita cita dan arah serta tujuan Perguruan..
Bayangkan, seandainya Perguruan / Institusi yang hanya melayani beberapa ribu warganya ini selalu digoncang oleh kekuatan suara. Yang banyak yang memimpin. Apa jadinya ?
Apa yang terjadi dalam dunia “Politician Struggles” ini mungkin wajar. Inilah memang corak ragam Dunia Para Politisi. Bekal utamanya adalah: Pandai Merayu Rakyat, Sering bertindak licik dan licin serta diplomasi berbohong menjadi satu kebenaran yang dikemas dalam bungkus yang rapat dan menarik yang disebut sebagai `Kebohongan Para Politikus`. Dalam dunia politik serta lingkungannya, dianggap hal yang wajar.

Di dunia modern, tuntutan Berdemokrasi Politik dan Politikus terbentuk dalam struktur `Bottom Up` – Bawah keats dan disebut Demokrasi Sejati. Kekuasaan sepenuhnyua berdasarkan `JUMLAH` yang lebih besar itu tadi. Walau tidak jarang akhirnya kekuasaan, kekuatan, power berlandaskan jumlah ini tadi justru pada kenyataan membuat rakyak sengsara. Tetap harus diterima sampai masa keruntuhan tiba akibat dikalahkan JUMLAH lagi. Muncullah kekuasaan baru dan seterusnya.

Dalam Perguruan Seni Beladiri, Institusi Seni Beladiri, kenyataan memang hanya satu bentuk Organisasi Kecil dan terbatas. Tujuanpun sudah tergariskan sepanjang masa, strukturnya adalah `Top Bottom` – Atas Kebawah, bentuk kerucut dan tidak berlandaskan jumlah, tetapi yang menjadi kekuatan adalah ~ MORAL dan MENTAL berkarakter.

Pimpinan, tidak ditentukan tiap kali dengan cara perebutan melalui cara adu JUMLAH tadi. Juga tidak dilakukan melalui intrik dan intimidasi. Membentuk kelompok, faksi dan fraksi. Adu kekuatan, mengumpulkan JUMLAH SUARA seperti dalam Dunia Politik..
Tidak ada istilah Kekuasaan dan Power sekedar karena jumlah dukungan. Yang ada ialah Kemampuan, Mental, Moral yang berkarakter yang dijadikan dan dibuat landasan itu tadi sesuai dengan kenyataan yang ada.
Tidak layak, tidak akan diikuti dan bubar serta ditinggalkan dengan sendirinya. Tidak ada pemaksaan atau jual suara. Tidak melalui cara cara layaknya dalam perebutan kepemimpinan sebuah partai politik. Dibatasi waktu untuk menjunjung hak berdemokrasi katanya. Gilir kacang untuk saling menikmati. Inilah esensi yang sebenarnya.
Benar, karena dibalik `Kedudukan dan Kekuasaan` tersedia kenikmatan yang harus dibagi bagi secara demokratis pula! Kalau satu Perguruan Seni Beladiri – Organisasi Seni Beladiri dikelola berdasarkan kekuatan `Jumlah Suara`, padahal yang diurus dan ditata terbatas; ialah PEMBINAAN MENTAL SPIRITUAL serta MORAL yang berkarakter tadi yang utama dan GEMBLENGAN SERTA KETRAMPILAN PHISIK sebagai bentuk lahirnya, maka bisa dibayangkan apa yang akan selalu terjadi ! Dalam memimpin satu Perguruan / Organisasi Seni Beladiri yang sesuai jalurnya, bukan sekedar untuk tujuan komersial, tidak ada kenikmatan dan tidak ada yang perlu dibagi bagikan. Yang ada hanyalah satu Pengabdian dan Pengorbanan yang tidak setiap orang mau dan bersedia menerima beban ini.

Kalau sampai terjadi perebutan kedudukan dengan cara cara yang dilakukan dunia politik, pasti ada maksud dan tujuan terselubung lain yang tidak sejalan dan sesuai dengan semangat pengabdian tadi.

Perbedaan falsafah yang sangat besar ini tidak bisa dicampur aduk begitu saja apabila kita ingin berjalan diatas jalur yang benar.

Tetapi, walau demikian, baik dalam satu Negara bahkan dalam Tingkat Dunia, politik dan politikus itu memang diperlukan dan dibutuhkan karena dialah yang menghidupkan segala percaturan dan pengembangan serta perkembangan jaman yang berjenjang dan tumbuh bersama jamannya itu sendiri.
Baik buruknya keadaan satu Negara dan Dunia sangat tergantung baik buruknya para politikus. Tetapi, struktur serta ciri dan identitasnya jangan ditiru bahkan dicampur aduk menjadi satu dalam kepemimpinan dan perilaku Organisasi / Institusi Seni Beladiri yang cita cita serta Visi & Misinya sangat bertolak belakang dengan dunianya. Falsafahnya sangat berseberangan, bahkan bertentangan.

Lain dengan sebutan seorang `Negarawan` sejati. Pribadi yang berpikir, berbuat dan berkiprah demi kesejahteraan rakyat, bangsa dan negaranya. Mirip dengan pengertian serta maksud dan tujuan dalam membentuk pribadi yang ada dalam satu institusi Seni Beladiri.

MISI PERGURUAN

Misi Perguruan dibawah ini mudah dijabarkan karena jelas arah dan tujuannya.
Antara lain :

  • Mengintegrasikan Pemuda – Pemudi Indonesia dengan rasa Persatuan dan Kesatuan Nasional yang Internasional. Berideologi Pancasila.
  • Mengembangkan Pembinaan Mental Spiritual Generasai Muda menuju Manusia Indonesia Berkepribadian dan Berakhlak.
  • Mengembangkan Seni Beladiri Karate khususnya Kyokushinkai Karate dengan semangat berlandaskan BUSHIDO.
  • Melatih dan memberikan kesegaran Jasmani – Rohani menuju Generasi sehat lahir bathin.