BEBERAPA CUPLIKAN MAJALAH PERGURUAN `OSHI SHINOBU`

JALAN SETAPAK MENELUSURI 40 TAHUN PERGURUAN
7 MEI 1967 – 7 MEI 2007

BEBERAPA CUPLIKAN MAJALAH PERGURUAN `OSHI SHINOBU`Dari Warga – Oleh warga – Untuk Warga
Edisi beberapa puluh tahun lalu.

Seorang karateka yang bersikap jantan, berjiwa ksatria dan perwira itu bukan berarti apabila semua persoalan yang dihadapi harus diselesaikan dengan adu keberanian dan bahkan kekuatan yang hanya mengunggulkan keberanian tapi jauh dari kebenaran. Jantan, ksatria, perwira itu lebih bertitik berat pada sikap mental dan kelembutan budi. Berani karena benar, tetapi juga berani mengakui kesalahan dan kekurangannya. Manusia yang phisiknya tidak prima bukan berarti bahwa pribadinya pasti lemah atau mustahil sebagai manusia jantan, ksatria dan periwra. Bahkan dalam sejarah kehidupan manusia banyak pribadi pribadi yang phisiknya jauh dari rata rata sesamanya, tetapi jiwanya jantan dan ksatria. Karena jantan, ksatria dan perwira itu hanya bisa dinilai pada keberanian untuk menentukan sikap akhir yang bijaksana dan bersedia menanggung segala risiko yang timbul dengan penuh rasa tanggung jawab.

“Karateka sejati laksana suluh dalam kegelapan, setitik air dalam kedahagaan demi tegaknya kebenaran dan keadilan”.
( nardi tn. – 68 )
KARATEKA SEJATI

Wahai engkau ksatria perkasa,
simbolmu selalu terpancang didada.

Kau rela berkorban demi sesama,
melaksanakan tugas sesuai ” Janji Karateka”.

Kau rela menderita demi keadilan,
berani dinista demi kebenaran.

Hanya ada satu pedoman,
menjaga keharuman nama Perguruan.

Setiap godaan engkau hindari,
segala rintangan engkau hadapi.

Hanya satu tujuan suci,
hidup mati bagai karateka sejati.

Bersifat rendah hati dan bertindak bijaksana,
merupakan suatu unsur “Janji Karateka”.

Cukuplah sudah menjadi fakta,
Kyokushinkai Karate Do Indonesia.

( Sofian Suhery `71)

 

Yang indah belum tentu hasil seni tetapi seni sudah pasti mempunyai segi keindahannya sendiri menurut penilaian masing masing orang. Seni karate demikian juga.
Mempelajari karate tanpa mau mengerti ini semua, seperti orang yang ingin belajar menyanyi tapi tidak menyadari bahwa suaranya sumbang…….( nardi tn )
………..karena menjadi seorang karateka tidak semudah seperti orang yang sekedar mengucapkan kata “karate”atau bergaya sebagai Karateka. Tapi seorang yang pantas disebut karateka adalah dan haruslah berpikir, berbicara, bertindak sesuai dengan jiwa seni karate yang sesungguhnya……( nardi tn. )
……….jangan kita selalu berpikir demikian sempit dan picik. Jiwa ksatria tidak hanya dimiliki bangsa Jepang saja, dia adalah milik semua manusia dan setiap manusia berhak mendalaminya, hanya penyusunan dasar ini telah ada dalam BUSHIDO dan selagi kita mendalami karate, dimana karate sendiri mengikuti dasar falsafah Bushido, maka tidak ada salahnya kita mempelajarinya. Tidak ada salahnya kita mencontoh sesuatu yang baik dari bangsa lain, tetapi sebaliknya; tinggalkan apa yang buruk walau itu terdapat pada bangsa kita sendiri…….( nardi tn.)
………. Banyak penggemar karate mulai kariernya karena dukungan saya. Tetapi setelah itu beberapa terbukti adalah orang orang oportunis yang tidak mempunyai tujuan tujuan baik dalam karate yang tersimpan dalam pikirannya…….( Mas Oyama ).
……….Dalam dunia perdagangan kita mempunyai hukum dan perlindungan yang menjamin hak hak terhadap orang orang yang melakukan pelanggaran ini, tetapi dalam karate kita tidak punya. Karate seolah olah hanya dilindungi oleh rasa ikatan perorangan dengan Pimpinannya yang hanya bersenjatakan tidak lebih dari rasa hormat yang diberikan oleh pengikut pengikutnya……. (Mas Oyama…Wawancara dengan Donn F. Draeger ).

………Karate adalah segumpal kecil dari bagian ilmu ( Karate is science ) yang ada di dunia ini, tetapi apabila jiwa dan semangat karate ini bisa tumbuh di hati sanubari banyak manusia, maka dunia ini pasti lebih tenteram dan damai. Pengaruh yang besar dan luas diperoleh karena terkumpulnya semangat yang walaupun sedikit, tumbuh sebagai ragi diantara umat manusia……..
( nardi tn. ).

 

LARI MEMANG BAIK
TAPI PADA TEMPATNYA

Apakah lari sebagai tambahan latihan dalam karate baik ?
Tentu saja tak seorangpun menyangkalnya, tidak hanya pada karate, dalam bidang seni beladiri apapun, maupun dalam berbagai olah raga, lari sebagai latihan pelengkap adalah baik. Lebih lebih bagi orang yang kerjanya banyak duduk, lari atau jalan cepat diwaktu pagi baik sekali. Lari atau juga jogging adalah olahraga yang paling murah tapi memberi hasil kesehatan yang tinggi asal semuanya itu dilakukan sesuai kemampuan usia dan kondisi badan. Tidak dipaksakan dan over. Khusus dalam seni beladiri, lari bermanfaat untuk meningkatkan stamina, ketahanan phisik, kerja jantung dan paru paru, persendian khususnya bagian bawah, otot kaki dan otot persendian serta kelancaran peredaran darah.
Tetapi, pada Perguruan ini terutama dalam latihan memakai do gi ( pakaian karate ) tidak dianjurkan latihan lari yang berlebihan sehingga mengganggu waktu untuk latihan karatenya sendiri. Waktu jam latihan, 60% waktu untuk lari. Apalagi kalau sifat dan kenyataan hanya untuk `pamer` belaka dihadapan masyarakat umum tanpa dibarengi rasa tanggung jawab dalam menjaga martabat seorang karateka. Hal ini akan sangat merugikan nilai nilai seni beladiri dan menimbulkan rasa antipati dihati masyarakat umum karena terlihat ada hal hal yang kurang layak diperbuat para karateka yang sedang berlatih berlari.
Kejadian semacam ini pernah terjadi di Jakarta beberapa puluh tahun lalu yang dilakukan oleh karateka sebuah Perguruan anggota FORKI waklu berlari di jalan raya. Sangat meruntuhkan rasa kebanggaan karateka. Para pemegang Sabuk Hitam berlari dengan tingkah polah yang menimbulkan rasa sebel masyarakat umum bahkan memuakkan, sehingga sepanjang jalan banyak yang mencemooh bahkan anak anak berani menarik narik Sabuk Hitam yang disandangnya dengan cara yang melledek, meremehkan dan tidak hormat pada si Karateka.
Pusat melarang Cabang Perguruan latihan lari diluar kecuali ditempat tertentu yang jauh dari kesibukan masyarakat, kuatir terkena imbas yang demikian itu.

Seorang Karateka memang baik berlatih lari, tapi bukan Pelari karena Pelari bukanlah Karateka. Ada Perguruan Karate yang warganya setiap kali latihan hanya lari lari saja. ( nardi tn ).

 

KAPHAR HUNNU
BHANDA MARNU RAMRO CHHA
 

Benarkah kata kata yang tercantum diatas itu ?. Apabila diterjemahkan secara bebas mempunyai arti: Lebih baik mati daripada hidup pengecut It is better to die than live a coward. Membaca atau mendengar kata kata seperti itu tidak sedikit orang yang akan mencibirkan bibirnya, tersenyum sinis dan berkata :” aahh, mati, gampang berbicara, tapi coba kalau sudah menghadapi kematian, apakah masih dipertahankan arti kata kata itu”.
Menghadapi orang yang berpendapat atau berpandangan semacam itu tidak perlu diadakan perdebatan, sebab arti dari kata kata itu sendiri lebih dalam, lebih mulia, lebih agung untuk diperdebatkan yang tidak berketentuan, ini adalah soal keyakinan, soal mental dan soal rasa harga diri orang perorangan atau pendapat masing masing insan manusia. Ada yang menganggapnya hanya sebagai kata kata dibibir, lain di hati. Ada yang beranggapan bahwa kata kata ini terlalu muluk dan menonjolkan ke – aku – an yang berlebih lebihan, sebagian lagi ada yang memberikan penilaian negatif karena mereka ini sudah termasuk orang yang tidak mempunyai kepercayaan kepada harga kepribadian orang tertentu yang benar benar berpegang kepada prinsip seperti tertulis diatas itu. Tapi disamping itu semuanya, tidak sedikit pula orang yang masih bisa menghargai makna dan isi kata kata tersebut dan tidaklah mustahil, iapun berpegang pada prinsip prinsip tersebut.
Berbicara tentang mati, bermacam macam…….jalannya. Bermacam macam caranya, manusia akhirnya mati juga, tidak bisa disangkal lagi, tetapi bagaimana ia mati, itulah yang menjadi inti dari arti kata kata tersebut diatas. Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang tiba tiba ingin mati tanpa alasan tertentu. Alasan ini bisa berbeda beda dan berbeda pula penilaian dan nilainya. Membunuh diri bisa diartikan sebagai pengecut sesuai dengan alasan mengapa dia berbuat demikian, tetapi membunuh diri juga bisa berarti jantan melihat cara caranya dan alasan alasannya juga.
DALAM suatu pertempuran yang dahsyat pada Perang Dunia II, dua orang prajurit yang berteman baik dan dikenal oleh kawan kawannya sebagai pemberani, pada suatu pertempuran salah seorang terkena ranjau dan boleh dikata kedua kaki dan badannya sudah terobek robek, tidak ada harapan lagi, walau dalam saat yang demikian mengerikan itu, ia tetap sadar. Temannya melihat hal ini tidak sampai hati untuk meninggalkannya. Diangkat tidak mungkin, keadaan sudah demikian mendesak dimana seluruh pasukan harus berlari menyelamatkan diri dari kepungan musuh. Pada keadaan yang kritis ini, prajurit yang gagah berani ini harus menentukan sikap yang tepat dan sekaligus bukan pengecut. Dia pun samasekali tidak merengek rengek ataupun mengaduh, walaupun luka luka yang menyayat tubuhnya pasti menimbulkan rasa sakit yang tak terkira.
Temannya walau telah diminta olehnya untuk meninggalkannya, tidak sampai hati dan tetap berada disampingnya, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Maka untuk mengatasi jangan sampai temannya yang masih sehat tadi mati konyol, dengan cepat sangkur yang masih tergantung pada pinggang temannya ditariknya dan………..langsung disayatkannya pada lehernya sendiri dan segera menghembuskan nafasnya terakhir kali. Tapi mati secara jantan demi menyelamatkan kawannya dari kebingungan yang mungkin akan mencelakakannya.
Prajurit ini bunuh diri, tetapi bunuh diri secara jantan. Kisah yang diceritakan kawannya yang sekarang masih hidup ( waktu perang dunia II berakhir ) ini pasti menggugah rasa haru dan kagum hati kita.

00

Lain lagi halnya dengan apa yang dikisahkan pada saat terjadinya perang Korea setelah Perang Dunia II baru usai. Seorang perwira dalam tindakannya pada bawahan selalu bersifat kejam dan keras. Tiap hari prajurit prajurit yang berada dibawah pimpinannya diberi indoktrinasi untuk bertempur dengan gagah berani agar kemenangan cepat tercapai. Perwira ini selalu membanggakan sifat sifat keberaniannya dan memuji dirinya sendiri sebagai seorang yang tidak mengenal rasa takut mati.
Dalam satu pertempuran dimana dia sedang memimpin, tiba tiba musuh keluar dari persembunyiannya dengan mendadak mengepungnya. Pasukan kacau balau karena dengan tiba tiba serangan gencar menimpa seluruh kesatuannya.Mortir dan senapan mesin menggugurkan beratus ratus anak buahnya. Apa yang diperbuat perwira itu tadi.
Bukannya dia memberikan spiritnya sambil menunggu bala bantuan, tapi tanpa memikirkan anak buahnya tersebut atau tetap bersama sama mereka, langsung berlari seorang diri dengan panik, seperti orang kehilangan kontrol dan dengan kain putih ditangannya, menuju kearah lawan untuk menyerahkan diri. Tapi naas baginya, sebuah peluru mortar tepat jatuh di tempatnya dan hancur binasalah perwira itu. Dia mati tidak bunuh diri, tetpi mati sebagai pengecut.
Bala bantuan datang. Sisa sisa prajuritnya tertolong tetapi nama baik perwira itu tidak tertolong lagi karena banyak saksinya yang melihat dirinya sebagai orang yang mementingkan keselamatan dirinya sendiri tanpa memiliki sifat jantan sebagai seorang prajurit dimana sifat `Ksatria` adalah utama.
Menyerah demi menyelamatkan bawahannya adalah terpuji, tetapi menyerah demi menyelamatkan dirinya sendiri adalah hal yang tidak bisa dibenarkan karena dia mempunyai tanggung jawab yang besar dalam tugasnya, sedangkan apa yang dicerminkan semasa ia hidup, semasa ia memberikan dorongan spirit kepada bawahannya, semuanya tidak sesuai dengan apa yang dilakukan menghadapi saat saat kritis.

00

Beberapa puluh tahun lalu seorang teman di SMP, Asmari namanya, terkenal sebagai murid yang bandel, nakal dan pantas disebut sebagai ` Brutal` serta bersifat pengganggu. Suatu saat, karena kelakuannya keterlaluan, saya memupukulnya dengan keras di punggungnya dan sejak itu, kelakuannya berubah karena tak disangka sangka ada teman sepantarannya yang berani bertindak. Dia seperti tertegun, minta maaf. Sejak itu pula dia menjadi sahabat baik saya. Dalam kariernya kemudian setelah lepas sekolah SMA, dia menjadi seorang Instruktur pada Korps Brimob di Jawa Timur.
Dalam suatu latihan tanpa sengaja sebuah granat yang sudah siap meledak menggelinding diantara anak didiknya. Menyadari apa yang akan terjadi dan atas rasa tanggung jawabnya yang besar, granat tadi didekapnya seketika dengan menjatuhkan diri diatasnya. Ledakan menghancurkan tubuhnya, jiwanya melayang tapi kematiannya adalah kematian jantan. Tiap orang pasti akan menghormati dan menghargainya. Akhirnya, Almarhum Asmari yang berjiwa agung ini dimakamkan di Makam Pahlawan Kota Batu.

00

MIYAMOTO MUSHASHI, seorang Samurai besar, hidup beberapa abad lalu di Jepang dan tak terkalahkan, dikepung lawan lawannya yang merasa dengki karena kehebatannya dalam perkelahian mempergunakan pedang. Seorang anak dibawah umur ikut bersama sama puluhan lawannya dan juga memegang pedang dengan sikap jantan. Mungkin dijadikan maskot para pengeroyoknya.
Miyamoto Mushashi yakin ia bisa mengalahkan lawan lawannya dalam sekejab mata dan karena perkelahian itu tak terhindarkan lagi, maka beberapa kali kilatan pedangnya telah menghabiskan nyawa lawan lawannya sekaligus dan hanya tertinggal anak kecil tadi. Sengaja Miyamoto Mushashi tidak melibas dengan pedangnya karena perasaann iba, tidak sampai hati untuk membunuhnya. Seorang anak yang belum memahami segala persoalan ini.
Tapi, walau demikian si anak menunjukkan sifat dan sikap jantan dan tetap bertempur dengan menyerang si samurai yang disegani diantara pendekar pendekar besar lainnya. Melihat keadaan ini, walaupun anak kecil itu bukan tandingannya, tetapi membuat hatinya terharu, kagum dan hormat penuh penghargaan. Maka, agar tidak sampai si anak merasa terhina dan bisa mati sebagai orang jantan, maka Miyamoto Mushashi bertempur dengan sungguh sungguh laksana ia sedang menghadapi lawan lawan besarnya yang tangguh dan tebasan pedangnya yang cepat dan dahsyat menghabisi hidup anak kecil yang jantan itu. Karena jiwa besarnya, iapun memberikan kesempatan kepada anak itu untuk mati secara jantan pula. Miyamoto Mushashi bukan hanya sekedar seorang Pendekar Besar, tetapi juga seorang yang berjiwa mulia dengan falsafah hidupnya yang dalam dan bermanfaat bagi sesamanya yang ingin hidup sebagai manusia bermartabat.

00

Sekitar tahun 1970 – 1971 saya melihat Kejuaraan Karate yang diselenggarakan PORKI ( Bukan FORKI yang baru berdiri menjelang akhir 1972 ). Seorang karateka yang bertubuh tinggi untuk ukuran orang Indonesia kebetulan atau memang sengaja dipertemukan lawan seorang karateka yang bertubuh jauh lebih pendek dari dirinya.
Pertandingan ini dilakukan dengan sistim control ( Non body contact Sustem ). Memang terlihat kedua karateka ini tak berimbang. Yang tinggi sudah banyak pengalaman. Yang pendek terlihat masih agak demam panggung. Penonton menanti apa yang akan terjadi. Karateka yang pendek sulit melakukan serangan baik dengan tangan maupun dengan kakinya dan seolah olah menjadi bulan bulanan yang tinggi…..Lalu apa yang terjadi ?. Karateka yang tinggi untuk mengejek dan merendahkan serta untuk membuat malu karateka lawannya, dia menekuk lututnya, setengah jongkok sehingga tinggi keduanya seimbang. Penonton sebagian tertawa dan bersorak sorak. Tetapi lebih banyak yang terdiam dan terlihat tidak senang melihat ejekan yang dilakukan karateka yang lebih tinggi tadi yang sangat merendahkan martabat lawannya. Inikah jiwa seorang karateka sejati ?. Atau sekedar Karateka Gadungan!. Menghina dan merendahkan martabat lawannya dengan cara mempermalukan dihadapan umum. Jangan kita tiru perbuatan seperti ini. Semua ini menodai, merendahkan serta merusak image masyarakat terhadap arti dan nilai seorang KARATEKA .

00

Tanggal 5 September 1976, hari Minggu, terjadi tragedi Pantai Ngliyep, Malang Selatan yang tragis. Warga Dari Surabaya sekitar 100 orang berwisata ke Pantai Laut Selatan yang terletak sekitar 65 km dari Kota Malang. Saya juga diundang untuk hadir dan memang bermaksud mengabadikan kegiatan warga di pantai nanti dengan kamera seliloid. Karena malamnya ada firasat buruk, maka Minggu pagi saya berusaha mendahului rombongan dan berangkat dari Batu, karena dua hari sebelumnya saya memang mudik yang biasanya tinggal di Surabaya dimana terletak Extern Head Office di Jl. Embong Malang, sedangkan Pusat ( Head Quarters ) tetap di Batu. Benar, saya bisa mendahului rombongan dan setelah memberikan sedikit pengarahan, permintaan utama yang saya sampaikan adalah : ” Jangan berenang dilaut, bermain dimana saja saya perkenankan “. Hati ini sungguh kuatir walau sekitar pukul 11.00 itu keadaan pantai masih dangkal dan tenang.
Padahal, tahun sebelumnya, warga Malang, Kediri, Pare dasn Batu sendiri juga berwisata di pantai yang sama dan mandi hingga pukul 16.00 dan pulang dengan selamat. Waktu itu saya tidak hadir. Saat saya sedang berbicara dengan beberapa warga di pantai, seorang berlari lari memberitahukan bahwa seorang warga bernama H.L. masuk dan berenang di tepian dan diminta untuk keluar, tidak dihiraukan. Saya segera mendatangi dan minta H.L. yang sedang berenang terlentang untuk naik ke darat. H.L. berusaha tetapi seperti gagal dan terus dibawa arus menuju ketengah.
Demikianlah asal mulanya. Seolah olah H.L. memang sebagai umpan ke 8 Karateka yang lain yang akhirnya cmenjadi korban hanyut dan meninggal melalui peristiwa yang sangat tragis ini. Kalau Mas Media yang memang sebagian tidak obyektif dan suka membuat berita yang didramatisir dan menimbulkan kehebohan untuk konsumsi Hariannya memberitakan bahwa; ke 8 Karateka tenggelam karena menentang kekuatan alam yang merupakan berita adu domba dan bohong. Sebaliknya, kedelapan Karateka ini hanyut dalam usaha menyelamatkan rekannya dem ngan segala usaha bersama sama puluhan warga lain, karena pertolongan bahkan alat alat yang bisa digunakan tidak diperbantukan, bahkan tali saja disimpang diberikan setelah semuanya terlambat. Warga terpaksa mengunakan Sabuk Tingkat mereka yang disambung menjadi rangkaian panjang untuk secara berderet deret mendekati korban yang selama kurang lebi 45 menit timbul tenggelam pada jarak sekitar 80 – 100 meter dari pantai. Pantai memang masih dangkat. Saat warga pertama mendekati korban, tinggi air baru sebatas dada tetapi anehnya korban tidak mampu mendekat walau di Surabaya dia adalah siswa yang andal dalam olah raga berenang. Memang mungkin sudah kehendakNYA. Dua kali ombak besar menghantam. Yang akan di tolong selamat tetapi diantara puluhan yang masuk air, delapan Karateka hanyut terbawa ombak. Diketahui setelah diadakan pendataan di depan Pesanggrahan setelah semuanya berkumpul.

DUA PERISTIWA LUAR BIASA. ( I )
Tanggal 5 September hari Minggu peristiwa tragis ini terjadi. Sejak sore itu setelah swemua kembali ke Surabaya, saya secepatnya pulang ke Batu, mengambil perkengkapan dan kembali. Hampir dua minggu saya tinggal di Pesangrahan sederhana sekitar 50 meter dari tempat kejadian untuk mengamati barangkali ada jenasah yang bisa diketemukan.
Hari Selasa tanggal 7 September adalah Hari Ulang Tahun saya. Banyak warga yang tahu dan khusus pagi itu sekitar 30 warga datang ke Pantai memberi selamat saya. Semua, bersama sama duduk dipantai tempat kejadian sambil memandang ke laut dan merenungkan dengan sedih pereistiwa yang merengut rekan rekannya secara tragis dua hari lalu.
Banyak juga pendatang dari masyarakat umum yang mendenga peristiwa ini dan segaja datang ke Pantai Ngliyep yang cukup dikenal khususnya masyarakat Jawa Timur. Saat sedang berbincang bincang satu sama lain, tiba tiba seorang warga menuding ke laut pada tempat dimana para Karateka terakhir kali terlihat hanyut terbawa arus dengan melambaikan tangangannya sebagai isyarat minta tolong yang tidak bisa diberikan saat kejadian.
Terlihat dengan jelas, terapung di jarak sekitar 70 meter satu persatu jenasah ke delapan Karateka dan terus menuju laut lepas lagi. Yang saat kejadian memakai ikat kepala, juga dengan jelas ikat kepalanya. Warga berteriak teriak histeris. Pengunjung umumpun menyaksikan peristiwa ini dan tertegun. Parman, seorang ABRI yanhg juga warga Perguruan menangis dengan keras melihat pemandangan ini dan berteriak histeris, katanya : ” Saya akan ke Bupati dan akan minta agar jenasah rekan rekan di cari “.
Peridstiwa ini kalau hanya disaksikan satu dua orang, bisa saja berupa halusinasi dan tipuan mata. Tetapi yang menyaksikan dan ada di pantai pagi itu puluhan orang termasuk pengunjung umum. Semuanya menyaksikan fenomena ini. Memang, tidaklah mungkin pada hari ketiga mereka, ke delapan Karateka masih utuh dan berkumpul berderet deret terapung melalui depan kita semua. Namun, ini adalah symbol kebersamaa mereka ( Almarhum ) yang menampakkan bayangan dirinya bahwa mereka tetap dalam persatuan spirit nyata. Berkatalah seorang warga yang mendampingi saya: ” Ke 8 Karateka itu sepertinya memberi selamat pada HUT sensei “. Kita semua meneteskan air mata.

DUA PERISTIWA LUAR BIASA ( 2 )
Sekitar dua bulan setelah peristiwa Pantai Ngliyep, saya dan seorang Asisten Instruktur S.W. kembali dari Jakarta berdua mengendarai Daihatsu Compagno Station kecil. Sudah menjadi kebiasaan bagi saya Jarak Batu – Jakarta dan sebaliknya pada umumnya saya tempuh berkelanjutan, tanpa bermalam di salah satu kota.
Malam itu, suasana hujan deras sekali sehingga tanpa sadar karena pandangan terhalang dan suasana sangat sepi, mobil yang kami kendarai tanpa sadar masuk ke arah jalan yang keliru dan makin lama makin menyempit. Daripada kami menuju arah salah dan makin jauh, maka diputuskan untuk kembali ke jalan semula. Hujan makin lebat. Karena jalanan sempit, untuk berputar membutuhkan beberapa kali maju mundur dan pada saat mobil kami benar benar melintang lurus di tengah jalan yang sempit itu dan mundur untuk berputar kembali, akibat tanah tepian jalan dibelakang kami yang lembek, kedua ban belakang terperosok dan pelahan lahan terus meluncur kebelakang tanpa dapat ditahan. Kami gelisah, karena menyadari bahwa tepi jalan memang berbatasan dengan kecuraman tanah dibawahnya. Bisa dilihat saat kami melintas, disebelah kiri mobil kami terlihat pohon pohon yang tumbuh dari kedalaman. Untuk menyelamatkan keadaan ini, S.W. yang mendampingi saya turun dalam hujan yang lebat itu untuk berusaha menahan mobil untuk tidak makin merosot kebelakang. Saya berusaha menginjak rem dan mempetahankan gigi pada voorsnelling 1. Tetapi, bukannya mobil berhenti sehingga bisa diganjal batu ban depannya, tetapi makin melorot kebelakang karena mobil terhgelincir pada dasar bodynya disebabkan tanah tepian yang melunak karena hujan.
Dalam kegelisahan ini maka satu satunya jalan ialah; mohon, apabila Tuhan Yang Maha Penolong mau mengulurkan tanganNYA membantu kami. Tidak ada lain alternatif. Kalau tidak, mobil pasti terjungkal kekedalaman. Entah apa yang akan kami alami.
Tiba tiba dari kejauhan sebelah kanan jalan terlihat cahaya lampu mobil yang sangat terang menembus hujan dan kegelapan dan apa yang terjadi. Mobil Datsun Bak itu ( Masa itu banyak mobil Datsun ) berhenti didepan mobil kami. Berdiri di bak belakang beberapa orang seperti baru pulang dari ladang, memakai sarung melilit di tububnya serta basah kuyup sekujur badannya diterpa air hujan.
Hati ini dua kali lebih keras degubnya. Di tempat yang sunyi ini pasti kami akan mendapat kesulitan dari mereka sedangkan mobil tetap dengan pelahan tetapi pasti melorot terus kebelakang. Orang orang itu segera melompat turun bersamaan dan apa yang diperbuatnya membuat hati kami tertegun. Mereka lalu pergi kesebelah kanan – kiri kendaraan kami dan secara bersama sama mendorong mobil hingga naik ke jalanan. Kami terselamatkan berkat bantuan oang orang yang berhati mulia itu. Belum sempat saya turun dan S.W. yang sudah diluar mengucapkan rasa terimakasih, dengan cepat mereka melompat kedalam bak kembali dan mobil yang oleh pengendara segaja tidak dimatikan mesinnya, segera berangkat melaju dengan cepat meninggalkan kami dalam kegelapan. Sungguh aneh. Bukan sewajarnya. Mau tidak mau ada perasaan bahagia bercampur kengerian karena seperti bermimpi saja.
Kami yang ditinggal ini saling berpandangan , penuh keherananan yang hingga kini masih merupakan misteri. Tetapi, saya mempunyai keyakinan bahwa orang orang itu adalah spirit ke delapan Karateka Almarhum yang atas perkenan Bapak Yang Maha Penolong dengan segala KebesaranNYA menyelamatkan kami berdua. Satu pengalaman yang tak terlupakan hingga kini, 31 tahun kemudian.

00

Beberapa waktu lalu, ada kejadian di A.Yos Dojo Kota Batu. Kebetulan dimana Pusat Perguruan berada. Walau A.Yos Dojo bukan sebagai sarana latihan langsung Pusat. Statusnya seperti Cabang lain. Tetapi, maknanya dan kenyataan menurut anggapan pihak luar sulit dihindari bahwa A.Yos. Dojo merupakan Dojo dan Kagiatan Latihan langsung Pusat Perguruan.
Mungkin, dengan tujuan untuk merusak dan meruntuhkan image masyarakat terhadap Pusat Perguruan khususnya bagi mereka yang pada abad ke 21 ini masih beranggapan dan berlaku layaknya pada abad lalu dan sebelumnya, dimana Perguruan yang satu selalu ingin membuktikan dirinya lebih hebat dari yang lain dengan cara mendatangi, menantang berlaga mengukur kekuatan phisik dan tehnik dan kalau menang, lalu mengobrak abrik Tempat Latihan yang gurunya kalah. Akibatnya Perguruan bubar, tidak mendapat kepercayaan dan murid muridnya banyak yang hengkang ke Perguruan Pemenang.
Ini terjadi pada jaman lalu. Itupun dilakukan Perguruan Seni Beladiri yang Guru dan Pimpinannya berjiwa rendah seperti digambarkan dalam film film Bruce Lee atau dalam film `Fearless ` yang dibintangi Jet Lee. Perguruan dibawah Pimpinan yang luhur dan bijaksana tidak melakukannya. Walau zaman itu masih serba liar. Apalagi sekarang. Pemikiran seperti ini sungguh konyol dan keblinger apabila dilakukan manusia jaman sekarang dan terlihat moral yang rendah, tidak etis dan barbarian.
Peristiwanya.
Seorang yang berpakaian karate dengan menyandang Sabuk Hitam dengan strip tingkatan DAN yang aduhai untuk membuat gentar pihak lain dengan diantar seorang Aparat Koramil berpakaian lengkap tanpa sopan santun serta sikap arogan masuk ke dalam dojo saat latihan bagi gelombang Yunior baru akan dimulai. Karena pasti kurangnya pengertian apa itu karateka sebenarnya, dikiranya tingkatan tinggi itu bisa membuat orang yang matang karatenya gemetaran. Tidak, justru orang yang menguasai Seni Beladiri itu selalu lebih waspada dan kontrol diri apabila harus menghadapi pribadi yang kalem, tenang dan rendah hati. Bukan pamer diri. Ibarat pepatah : Anjing menyalak tak menggigit sebaliknya Air tenang menghanyutkan !. Seluruh mata yang berada di dalam dojo, juga beberapa Orang Tua / Wali Warga yang setiap kali mendampingi anak anaknya berlatih melihat adegan ini dengan penuh keheranan. Maklum, karena kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Apa yang dilakukan kedua orang ini. Mereka mendatangi Pembina ( Pelatih ) saat itu dan menyatakan bermaksud dan ingin melakukan ` tantangan ` untuk ber – Jiyu Kumite – Perkelahian Bebas di dalam dojo. Tentunya hal ini dilakukan dengan sengaja dihadapan Warga dan Para Walinya. Sungguh satu perbuatan yang sangat memalukan bagi seorang yang memahami Jiwa Seni Beladiri Karate ( Bushido), tapi bagi Karateka yang dibina dengan cara cara rendah dan hantam kromo, merupakan perbuatan yang membanggakan. Dalam hati sanubari dan pendapatnya sendiri. Keinginannya ini didukung Aparat yang mengawalnya yang seharusnya malahan melarang terhadap hal seperti ini untuk menghindari akibat ektrim yang mungkin timbul. ( Aparat yang jiwanya masih tertanam cara cara Orde Baru – Backing backingan ).
Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan serta menghindari persoalan dan akibat yang mungkin dan tidak perlu terjadi, sesuai `Janji Karateka`, maka keinginan mereka ini ditanggapi dengan halus dan sopan oleh Pembina; bahwa hal yang demikian itu tidak perlu dilakukan karena menyimpang dari Jiwa Karate Do dengan beberapa argumentasi dari Peraturan serta Ketentuan Perguruan. Perguruan justru mengajarkan persahabatan.
Himbauan ini bukannya meredakan atau membatalkan keinginannya, tapi malahan menimbulkan rasa pongah dan dianggap sebagai rasa takut. Penolakan dengan halus dan bersahabat ini ditanggapi sebagai alasan dan disimpulkan dengan pengertian ` TIDAK BERANI `. Mereka justru mendesak dan makin mendesak. Akhirnya, juga sesuai ` Janji Karateka `, oleh Raynard R. Pembina, mereka dipersilahkan duduk dulu dan menunggu sampai Latihan Basic selesai dilaklukan karena warga yunior memang sudah siap untuk ini. Setelah Latihan Basic selesai, maka si karateka dipersilahkan maju di tengah dojo sedang warga seperti biasanya duduk rapi. Setelah sedikit penjelasan penting diberikan, Jiyu Kumite, perkelahian bebas dalam karate ini dimulai.
Pada mulanya, si Penantang dengan segala cara dan usaha melakukan pukulan dan tendangan sejadi jadinya dengan tujuan untuk menjatuhkan Pembina yang ditantangnya dengan segera. Memang, seperti biasa pihak Penyerang diberi kesempatan seluas luasnya untuk memukul dan menendang. Hanya segala serangannya yang membahayakan dan hilang arah ditepis dan dihindari. Ini semua dilakukan untuk menampilkan ketahanan phisik dalam arti Full Contact ini. Bahkan pukulannya sempat mengarah dengan sengaja langsung ke wajah dan meyentuh mulut. Tetapi tidak menimbulkan kefatalan. Semula, semua sudah dijelaskan dalam Perkelahian Bebas sesuai Peraturan dan Ketentuan dilarang melakukan pemukulan langsung ke kepala dengan sengaja, menendang diperkenankan sesuai Peraturan & Ketentuan Full Contact tetapi tidak dengan sengaja ke selangkangan dan semua ini disetujui. Apalagi sejak semula dikatakan bahwa hal ini hanya uji coba dan persahabatan.
Akhirnya, setelah segala serangannya kandas, balasan balik diberikan. Tiga pukulan yang cukup telak ke dada dan sekitarnya membuatnya goyah serta terhuyung. Segera diikuti serangan tendangan mawashi ( melingkar ) ke kepala. Seketika karateka ( ? ) ini terpental dan jatuh serta beberapa giginya lepas.
Setelah kejadian ini dan saat sudah agak sadar , si karateka itu diajak keluar oleh pendampingnya dan selesai latihan, masih menunggu di luar dojo; menyatakan permintaan maaf, juga pengantarnya yang semula terlihat garang saat memasuki dojo. Semuanya berakhir dengan baik dan beberapa hari karateka yang ingin mencoba kebolelahannya ini di rumah sakitkan di Rumah Sakit Bayangkara Batu. Menghubungi Raynad R. menyatakan penyesalannya dan permintaan maaf sekali lagi. Mungkin atas saran Mapolres agar berlaku sportif.
Pada saat saya sebagai Pimpinan Perguruan menyampaikan peristiwa ini ke seluruh Daerah dan Cabang, agar peristiwa ini tidak sampai menjadi berita yang simpang siur di kemudian hari, karena terjadi di A.Yos. Dojo – Batu dimana Pusat berada, seperti saya katakan diatas. Saya minta agar semua mawas dan menahan diri karena dikuatirkan dan berkemungkinan seperti permainan domino yang direncanakan oleh pihak yang ingin memancing di air keruh dari peristiwa seperti ini.Banyak yang langsung memberikan dukungan konkrit akan apa yang dilakukan Pembina..
Sayangnya, justru ada tanggapan minir dan sinis dari dalam sendiri yang tidak sehat. Tidak setuju, punya pandangan lain, memang haknya. Tetapi jangan asal kritikl tanpas jelas apa solusinya yang bermartabat demi nama baik Perguruan Seolah olah dirinya yang paling faham menghadapi peristiwa serta segala akibatnya. Penglaman saya sudah jenuh dengan segala permasalahan sejak muda, khususnya di jaman Orde Lama maupun Orde Baru yang sangat represif. Sayapun menyadari, semua yang trerjadi d dojo itu berisiko. Dimanakah ada hidup tanpa risiko. Tetapi apakah kita harus mengorbankan kehormatan dan harga diri selagi kita masih sanggup menangkalnya. Kalah dan menang itu hal biasa dan hanya sebagai akibat dari suatu sebab.
Ibarat rumah kita dimasuki orang luar dan berlaku tidak sopan serta menginjak injak harga diri. Segala cara telah kita lakukan untuk menghindari kekerasan, tetapi tidak ada jalan lain. Haruskah kita pasrah dan menyerah padahal kita masih mampu berbuat yang layak didalam rumah kita sendiri. Kita sadar dan tahu akibatnya. Didalam maupun diluar. Di dalam kitapun bisa kalah. Tetapi lebih baik kalah terhormat daripada jadi pengecut. Memang hanya itu kemampuan kita tetapi ada usaha untuk menjaga martabat. Ingat Janji Karateka. Diluar bisa menimbulkan persoalan. Itu memang risikonya. Tiada hidup tanpa risiko tetapi risiko yang sudah dipertimbangkan dan apabila semuanya sudah kita coba untuk menghindarinya serta buntu jalan, maka risiko apapun harus kita hadapi daripada kehilangan harga diri dan martabat sebagai manusia. Apalagi demi Perguruan yang mengayomi rasa bangga yang bertanggung jawab demikian banyak warganya. Perguruan yang selama puluhan tahun belum pernah mengalami hal yang demikian ini.
Karateka itu menghindari kekerasan dengan segala kemampuan, tetapi bukan berarti sebagai `Pengecut`. Kalah dan menang itu hanya sebagai akibat, tetapi sikap jantan jangan ditinggalkan apabila terpaksa harus bertindak. Pandai pandailah menentukan sikap dimana kita harus membuat keputusan. Manusia sehat pikiran bisa menerimanya. Mungkin di mata hukum kita tetap bisa divonis bersalah. Karena mudahnya keadilan ditukar dan dibeli dengan kekuatan uang di Negara ini. Tetapi, hati kita tetap ada rasa kebanggaan
Dukungan Pusat terhadap apa yang dilakukan Pembina bukannya karena hubungan dalam keluarga atau tanpa alasan, tetapi karena memahami bahwa semua itu tidak mungkin dihindari karena bertendensi kesengajaan dan terencana. Setelah mendengar penjelasan dari berbagai pihak yang menyaksikan peristiwa ini. Beberapa saat sebelumnya memang sudah terlihat adanya gejala ingin memancing di air keruh dan mendiskreditkan nama Perguruan yang sudah puluhan tahun hidup dalam kedamaian.
Kecurigaan ini akhirnya memang benar. Dengan meminjam Perguruan lain serta identitasnya, untuk mengadu domba Perguruan ini dengan pihak lain diikuti janji hadiah yang cukup lumayan apabila memberikan hasil dan bisa meruntuhkan kredibilitas Pembina di Batu, hadiah lebih besar sudah menunggu. Lempar batu sembunyi tangan. Benar tidaknya semua perencanaan ini belum bisa dibuktikan secara konkrit. Baru melalui informasi dan alalisa yang bisa dipercaya berdasarkan logika dan gejala yang muncul sesuai dengan rencana yang pernah bocor sebelumnya.
Syukurlah, tidak satu Instansipun yang mendukung tindakan tidak pantas ini serta mengatasinya secara porposional dan obyektif. Andaikan perbuatan Pembina yang salah. Saya tanpa segan akan bertindak dan langsung saya sendiri akan minta maaf dengan mengakui kesalahan. ( nardi tn. )

00

Sekitar tahun 1962, seorang teman saya yang sekarang bermukim di Canada bekerja sebagai Penjual Karcis Biokop ` MIMOSA ` di Batu. Satu satunya Gedung Bioskop yang ada di Kota Batu. Malam itu, sekitar pukul 21.00 saya sudah berbaring di tempat tidur karena kondisi badan kurang fit, agak demam. Biasanya, saya tidur larut malam. Kebiasaan. Tiba tiba kamar diketuk Pembantu Rumah dan menyampaikan pesan bahwa seorang teman saya ingin bertemu. Saya bangun dan keluar.
Disampaikan berita pada saya bahwa teman saya W.H. dikepung beratus orang didepan loket Gedung Mimosa karena kesalahan bicara waktu berhadapan dengan penonton yang membeli karcis dan tidak berani keluar gedung karena diancam akan dipukuli. Saya bergegas ke tempat kejadian disebelah barat rumah saya dalam jarak sekitar 300 meter.
Pada jaman itu, seperti juga pada jaman Orde Baru kemudian, polisi yang seharusnya tanggap akan hal seperti ini, kalau melihat yang menjadi obyek adalah keturunan cina, memang lebih bersikap masa bodoh seperti sengaja dibiarkan sampai terjadi dan baru ditindak. Demikian juga malam itu. Ada beberapa tentera berdiri disitu, juga hanya menonton.
Saya mengerti akan risikonya apabila saya ikut campur dalam peristiwa ini, tetapi, melihat keadaan yang demikian tegang dan panas, saya memberanikan diri dan masuk dalam kerumunan orang banyak, berusaha menaiki tangga gedung untuk berdiri di pelataran depan loket. Tujuan saya satu. Untuk mendamaikan keadaan yang makin memanas ini. Bukan untuk membela pihak tertentu karena saya menyadari, teman saya memang seorang yang temperamental dan sering kalau berbicara agak sinistis. Tujuan saya murni. Untuk mencari jalan damai. Demi kebaikan.
Pada waktu saya berdiri menghadap sekian banyak penonton yang solider dengan temannya dan beringas, hal yang tak terduga terjadi. Keadaan jadi tenang dan semuanya memandang kearah saya.
Dengan sabar, tenang dan muka senyum saya mohon kepada seluruh yang berdiri didepan saya untuk bisa memaafkan apa yang diperbuat teman saya dan saya akui mngkin memang terjadi kesalahan bersikap. Atas namanya, saya jamin, meminta maaf atas segala kesalahan yang diperbuatnya. Saya mohon agar semuanya mau memberi kesempatan untuk memperbaiki kekurangannya dan memperbolehkan pulang tanpa memberi hukuman. Saya mengucapkan kalimat ini dengan rasa hormat dan tulus, terimakasih sekiranya permohonan ini bisa disetujui dan diterima.
Apa yang terjadi ?.
Yang hadir jadi tenang dan suasana panas yang tadi terjadi berubah menjadi normal kembali. Bak ombak berdebur debur menghantam pantai karena angin ribut tiba tiba tenang kembali.
Orang orang pelahan bubar dan meninggalkan gedung kembali ke rumah masing masig. Setelah suasana sepi, bari W.H. berani keluar dan setelah saya peringatkan untuk lebih berhati hati dikemudian hari dalam berhadapan dengan masa, iapun pulang dan tidak pernah terjadi apa apa lagi pada dirinya. Tetap bekerja sebagai penjual karcis untuk beberapa lama tanpa gangguan.
Di masa muda hingga akhirnya mulai tahun 1964 saya mendalami karate dan tahun 1967 mulai mendirikan benih Perguruan PEMBINAAN MENTAL KARATE di Kota Batu, berkali kali saya menghadapi masa yang jumlahnya besar yang sedang beringas. Pada umumnya untuk meluruskan dan membela mereka yang tertindaas dan tak berdaya, tetapi selalu bisa menyelesaikan dengan damai melalui tutur kata dan himbauan yang tulus keluar dari dalam hati dan bersahabat. Tetapi, juga banyak yang terpaksa harus saya selesaikan dengan mempertaruhkan milik saya yang paling berhargapun, apabila memang tidak ada jalan lain untuk menghindarinya. Apapun risikonya Tidak pernah jalan hidup ini saya korbankan dengan menghancurkan kehormatan dan rasa harga diri dengan cara yang rendah dan murah.
Dari pengalaman dan segala apa yang saya rasakan saat muda sebagai orang dari keluarga miskin dan tak berdaya, maka pada saat benih Perguruan mulai tumbuh tahun 1967; saya susun ” Janji Karateka ” yang hingga kini masih merupakan Pegangan Hidup Para Karateka Perguruan. Bukan menjiplak dan menterjemahkan dari luar.

o0o
( nardi tn – II, 07)