Pada Kongres IV PORKI tahun 1972 di Jakarta dimana Nardi untuk pertamakali diundang oleh Organisasi Karate Nasional ini dan dihadiri 25 Perguruan Karate yang waktu itu eksis di Indonesia, terbentuklah FORKI, yaitu Federasi Olah Raga Karate Do Indonesia yang diharapkan bisa membawa nafas dan arah perkaratean yang lebih baik. Bapak Widjojo Soejono terpilih secara mutlak sebagai Ketua Umum PB FORKI .
Didalam Kongres PORKI IV 1972 yang berakhir dengan terbentuknya wadah FORKI tersebut, disampaikan gagasan dan pandangan Nardi sebagai sumbangsih betapapun kecilnya demi kebersamaan perkaratean di Indonesia. Kejadian di Japan Karate Association (JKA) di Jepang jangan sampai merembet di Indonesia.
Point- point penting adalah sebagai berikut:
- Diakuinya identitas Aliran masing masing, berarti tetap adanya persaingan persaingan sehat, sportif dan terarah serta demi kemajuan perkaratean di Indonesia yang mementingkan kenasionalan tapi bersifat internasional.
- Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, suatu corak keagungan dalam berorganisasi dimana masing-masing merasa mempunyai hak dan kewajiban yang sama demi cita-cita yang satu, menjunjung tinggi nama perkaratean di Indonesia
- Saling menghargai dan menghormati diantara Pimpinan dan warganya masing masing, suatu sifat ketimuran yang lebih mengutamakan perasaan halus yang sesuai dengan jiwa karateka, tidak menonjolkan keakuannya.
- Mempunyai hak penuh untuk mengurus rumah tangganya masing-masing, berarti adanya kebebasan untuk memikirkan kemajuan ke dalam dengan hasil ke luar selama tidak dengan caracara yang merugikan kepentingan umum. Suatu rumah tangga tidak mungkin aman dan tenteram serta teratur apabila selalu mengurusi dan ikut campur tangan rumah tangga orang lain.
- Mencari suatu nama yang pantas bagi wadah perkaratean di Indonesia yang bisa diterima semua pihak dengan rela dan penuh pengertian dimana didalamnya bisa berteduh semua Organisasi Karate yang diakui dengan aman dan tenteram, lepas dari perasaan takut untuk diperlakukan secara tidak adil. Merupakan suatu rumah bagi perkaratean di Indonesia, dimana kita mempunyai kebebasan disamping kewajiban kewajiban dan tanggung jawab untuk bersama sama mempertahankan keagungan rumah tersebut demi kepentingan bersama dibawah lindungan orang tua yang pasti mementingkan dan selalu memikirkan kesejahteraan putera puterinya dengan adil penuh tanggung jawab.
Pandangan dan pemikiran ini mendapat sambutan dan dukungan baik dari sebagian besar tokoh waktu itu yang hadir dan selalu dipegang teguh oleh Perguruan hingga saat ini karena cukup menjamin adanya ketenangan selama prinsip-prinsip yang demikian itu dipertahankan dan dijalankan secara konsekuen.
AD – ART FORKI pun menjamin hal yang demikian itu hingga kini. Yang penting pelaksanaannya, benarkah sudah dijalankan secara konsekuen hal yang sudah dimufakati bersama ini. Semoga !
Perguruan makin berkembang, jumlah pelatihpun makin besar yang dahulu disebut: Co.Assistant, Assistant Instructor dan Instructor dan sejak 1999 menjadi: Pembina Pemula (Junior), Pembina Madya dan Pembina Senior. Kata PEMBINA lebih mempunyai arti yang dalam. Tidak mungkin seorang PEMBINA menjerumuskan mereka yang dibina, membina bukan sekedar memerintah (To instruct). Karate Coach.
Bak seorang kusir yang pasti mengarahkan keretanya ke jalan yang baik sampai tujuan. Perguruan makin melaju, bukan dipandang dari jumlah cabangnya saja dan meluasnya perkembangan, tetapi terutama sistim full body contact ini makin populer di tengah-tengah masyarakat dan penggemarnya. Ini suatu tanda bahwa sistim ini diterima secara luas dan mempunyai penggemar tersendiri. Dukungan masyarakat ini sangat membanggakan. Dahulu orang demikian asing mendengar kata Kyokusinkai Karate, logo Kanku tidak dikenalnya dan bahkan kota Batupun sangat asing bagi para wartawan, khususnya di Ibu Kota. Melalui pendekatan dan hubungan terus menerus yang intent, akhirnya nama Kyokushinkai Karate, Mas Oyama, sistim Full Body Contact dan bahkan kota Batupun makin dikenal dan bukan hal yang asing lagi.
Dahulu, kalau diadakan jumpa pers di Jakarta dan mengetahui Nardi dari Batu, selalu timbul pertanyaan dimana Batu itu dan perlu dijelaskan dahulu baru agak dipahami, dekat kota Malang di Jawa Timur. Karena itu, hingga kini Nardi bisa karena seringnya mengadakan jumpa press sekitar tahun 1971 – 1976 sangat memahami wartawan tulen berbobot dan wartawan amplop hingga kini. Yang tulen rasional obyektif dibanding yang hanya sensasi membuat heboh.
Setelah terbentuknya FORKI, di Surabaya diselenggarakan apel besar karateka Jawa Timur di Gelora 10 November Surabaya. Cabang-cabang di Jawa Timur dalam jumlah besar dan tanpa persiapan khusus mengirimkan anggotanya, hanya karena terbiasa tertib dan disiplin, maka acara apel besar dengan inspektur upacara ketua umum PB FORKI, Bapak Widjojo Soejono, semuanya dilakukan dengan rapi, tertib disiplin dan rasa penuh tanggung jawab demi kehormatan nama Perguruan yang berpusat di Batu itu, satu-satunya Perguruan Karate yang berpusat di sebuah Kecamatan.
Semua keharmonisan dalam gerak dan pergeseran baris berbaris terlihat sangat rapi hanya berdasarkan komando para seniornya sehingga mengagumkan dan menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi Nardi saat itu. Salah seorang tokoh karate dari Jakarta, sambil melihat kerapian warga Perguruan ini dari atas podium berkata: ‘ Kok bisa begitu Pak Nardi!’.