THE BEGINNING (1957-1967)

PERGURUAN mulai dirintis dengan hati-hati dan tekun di kota Kecamatan Batu – Malang, Jawa Timur oleh Nardi T.Nirwanto S.A. pada tanggal 7 Mei 1967. Tahun 1967 masih merupakan saat-saat penuh tantangan, curiga mencurigai satu sama lain masih mewarnai suasana Bumi Pertiwi ini, pergolakan masih terasa dan belum tercipta rasa ketenangan dan ketenteraman, apalagi keamanan di hati masyarakat Indonesia pada umumnya. Semua ini disebabkan karena Negara dan Bangsa Indonesia baru saja dilanda G – 30 – S PKI pada tanggal 30 September tahun 1965 yang sangat menggoncang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sela waktu dua tahun setelah peristiwa itu masih membuat suasana mencekam, dan trauma masih melekat pada sebagian besar rakyat Indonesia karena peristiwa tersebut. Saling tuduh dan saling fitnah terjadi dimana-mana sekedar untuk menghabisi baik karier maupun kehidupan lawan, khususnya yang tak sanggup membela diri. Korban berjatuhan dan mungkin banyak dari mereka yang tidak pernah ikut dalam urusan berpolitik ini terkena imbasnya. Sebagian besar hanya ikut-ikutan dan menjadi korban permainan para politikus dan petualang kesempatan. Rakyat sengsara karena merasa terombang ambingkan oleh gejolak yang tak menentu, menakutkan, mendebarkan dan sangat mengerikan.

Tiada sedikit halangan dan hambatan yang sulit untuk dielakan, tantangan bermunculan menghadang benih yang masih muda dan lemah ini, yang mulai merayap tumbuh diantara semak dan tanaman liar dan bahkan belukar berduri yang berada dimana-mana saat itu. Namun dengan segala tekad dan rasa percaya diri penuh ketabahan, benih ini terus tumbuh menembus serta mengatasi segala hambatan yang muncul dengan silih berganti. Sejak awal mula berdirinya Perguruan, telah ditanamkan rasa persatuan dan kesatuan yang kokoh diantara warga, khususnya para pemuda di Batu waktu itu. Perguruan menanamkan sikap tertib dan disiplin yang tinggi serta rasa tanggung jawab yang besar untuk menghadapi lingkungan dan masyarakat umum yang masih sangat sensitif. Kegiatan kelompok karateka masih merupakan hal yang belum biasa, awam serta asing saat itu, apalagi di Kota Kecamatan seperti Batu. Kegiatan ini dianggap sebagai unsur yang bisa menimbulkan keributan dan kekacauan yang sangat tidak mereka harapkan. Dunia kecil karateka belum bisa diterima oleh dunia besar masyarakat awam. Saat itu dengan segala daya upaya, Perguruan berusaha untuk bisa menyesuaikan diri dan diterima secara terbuka oleh masyarakat sekitar dan penduduk kota Batu khususnya.

Maka lahirlah dua buah MOTTO Perguruan: KARATEKA MENGHORMATI MASYARAKAT, MASYARAKAT MENGHARGAI KARATEKA dan MOTTO berikutnya yang berbunyi: KARATEKA MENYESUAIKAN DIRI DENGAN LINGKUNGANNYA, BUKAN SEBALIKNYA.

Disusunlah JANJI KARATEKA yang merupakan pegangan utama bagi warga, baik di dojo (Ruang Latihan) maupun hidup ditengah masyarakat untuk bisa diterima secara wajar dan dihargai masyarakat karena sikap yang pandai menyesuaikan diri dan memang layak untuk dihargai.Hal yang demikian ini merupakan proses yang membutuhkan waktu dan pembuktian nyata. (Janji Karateka ini bukan terjemahan dari luar, tetapi murni disusun oleh Nardi sendiri).Tantangan ini harus dihadapi dengan kesabaran, perbuatan dan tindakan serta kelakuan terpuji ditengah- tengah mereka untuk menghapus kesan dan anggapan bahwa Karate dan Karateka adalah sesuatu yang identik dengan kegiatan dan kelakuan serta sikap yang berbau kekerasan, kekasaran dan membahayakan serta brutal. Pembauran terjadi secara alamiah melalui rasa pendekatan dan persahabatan dalam latihan dan kebersamaan diantara mereka. Kebersamaan ini membawa mereka bersatu tanpa mengenal perbedaan raas, golongan, tingkatan, suku dan agama. SARA tidak terjadi dan tak sedikitpun terdapat benih yang memungkinkannya untuk tumbuh. Suatu keharmonisan tercapai dan suasana kota Batu tetap tenang, damai dan bahkan bersih dari gangguan pemuda luar yang sebelumnya sering membuat gaduh dan mengganggu kaum muda setempat dengan keberingasannya.

Bahkan beberapa pemuda dari luar kota yang mengalami gangguan pemuda brutal minta perlindungan ke rumah Nardi dan mereka aman saat meninggalkan kota Batu, karena ada rasa segan bagi si pengganggu. Mereka merasa tidak layak dan agak jera melanjutkan perbuatannya walau tanpa dihadapi dengan kekuatan melainkan dengan cara persuasif. Dalam masa yang singkat, banyak para remaja Batu berlatih dan bergaul bersama- sama dalam suatu bentuk wadah, yaitu Pembinaan Mental Karate, tutur Nardi memulai kisahnya. Berlatih bersama, berkumpul, bersahabat dalam satu wadah Pembinaan Mental Karate yang merupakan tempat penggemblengan phisik – mental spiritual yang terarah dan mempunyai tujuan baik serta meningkatkan rasa tali persaudaraan dan persahabatan akhirnya sanggup menghapus pertentangan-pertentangan pribadi yang sering menghinggapi jiwa para remaja.

Kesan kebersamaan ini apabila terbentuk secara wajar akan terbawa sampai hari tua. Bibit yang tumbuh indah di kota desa ini ternyata dalam pertumbuhan Perguruan yang makin meluas tetap merupakan pola dasar pembinaan yang layak dipertahankan hingga masa jauh ke depan, sanggup memberikan hasil positif dalam ikut berpartisipasi membina dan mengarahkan para remaja menuju rasa persatuan dan kesatuan yang berwawasan nasionalisme dan mantap dijiwai rasa kebersamaan yang ‘Bhineka tunggal Eka‘. Dalam masa yang serba sulit sejak berdirinya Perguruan ini, tidak sedikit jasa Bapak R.Banoe Roesman Kartasasmita, Pembantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II Malang di Batu. Beliau secara aktif mengayomi benih yang mulai tumbuh subur tetapi masih rawan terhadap berbagaipenyakit yang mungkin akan menyerangnya. Keadaan yang masih belum kondusif dan stabil ini mendapatkan perhatian beliau. Bapak R.Banoe Roesman Kartasasmita ikut mencangkuli tanah yang belum sepenuhnya subur, menyebar obat dan memberi pupuk serta perlindungan agar benih muda tumbuh dengan baik, aman tanpa gangguan dan sanggup membuahkan hasil positif. Beliau tertarik karena pada kenyataannya Pembinaan Mental Karate ini sanggup mengendalikan dengan terarah laju kedinamisan kaum muda yang sering agak melampaui batas kewajaran.

Hal ini umum terjadi. Energi dan gairah yang berlebihan tanpa penyaluran yang berimbang akan menimbulkan ekses yang kurang baik. Oleh karena itu, kegiatan yang terpadu ini, setidak-tidaknya memberikan penyaluran yang berdampak positif sekaligus memberikan kesegaran jasmani rohani. Hingga usia ke 24 tahun Perguruan, sesuai jasa-jasanya yang tak terlupakan, beliau adalah sebagai Presiden Perguruan. Bapak R.Banoe Roesman Kartasasmita, meninggal dunia di Batu pada tahun 1991, satu tahun menjelang Peringatan Perak 25 tahun Perguruan, tahun 1992. Sungguh sayang dan merupakan suatu kehilangan yang amat dalam bagi Perguruan, mengingat dukungan beliau yang tulus.

–BERSAMBUNG–