Editorial
Cuplikan OSHI SHOBU No. 14 – 2007
JADILAH KARATEKA BERBUDAYA
Sering masyarakat menilai bahwa seorang Karateka itu yang paling ditonjolkan adalah; sifat emosional, kaku dalam pergaulan, mudah tersinggung karena mengandalkan kebihannya serta keras. Sejak Perguruan ini berdiri 40 tahun lalu, kesan yang demikian ini diutamakan serta diupayakan untuk dikikis agar pandangan dan anggapan yang demikian ini sirna. Caranya ialah apabila sikap mental dan perilaku para Karateka Perguruan bisa diamalkan secara nyata dan membuktikan keadaan sebaliknya. Usaha keras ini menyebabkan sering masyarakat jadi heran dan kagum; tidak menduga bahwa seorang Karateka bisa berpenampilan halus dan bersikap sopan santun, berbudaya.
Memang, seorang Karateka sejati, dimanapun ia berada, bertemu dan berbicara dengan segala tingkatan masyarakat, dalam keadaan apapun, dimana dan dengan siapa saja dalam suasana apapun, apalagi yang bertujuan dan beritikad baik, harus selalu menjaga penampilan dengan perilaku mawas diri, simpatik, ramah tamah, rendah hati, menghargai sesamanya agar tetap disuka oleh pihak lain. Makin tinggi tingkatan seseorang, seharusnya makin mantap dan bisa dipertanggung jawabkan kepribadiannya. Bukan sebaliknya, menimbulkan rasa antipati, muak dan bahkan menjemukan. Sebagai contoh kita lihat Para Pejabat kita pada umumnya. Anggota Dewan dan Para Petinggi dalam Bidang dan tingkatan apapun. Sebagian besar sangat senang memamerkan deretan gelar dimuka dan dibelakang namanya, berlagak sok dan pongah merasa paling mengerti tata krama kehidupan serta membusungkan dada dengan pandangasn hanya keatas, berlagak paling berkuasa.
Di sebelah kanan kirinya apalagi yang ada dibawah sering dianggapun tidak, apalagi dilihat dan didengar. Mereka ini, masyarakat bawahan dinilainya bukan tandingan. Tidak sederajat. Lain dibanding yang ada diatasnya ( Bukan Tuhan lho! ) baik dalam bidang kekuasaan apalagi dalam bidang kedermawaan ( Fulus ) ! Keadaan ini persis laksana seorang Karateka dengan tingkatan DAN yang mempunyai banyak strip warna emas di sabuknya. Sering merasa dirinya paling hebat, paling perkasa, paling tahu segalanya dan menganggap mereka yang pemula atau dibawah tingkatannya bukan derajatnya, bahkan dikerling melalui sudut matapun, tidak !
Memiliki, menjajarkan Gelar Kesarjanaan. Karateka dengan strip warna emas berderet deret di Ban Hitamnya bukan hal yang salah dan tabu, bahkan patut dibanggakan karena pasti keintelektualannya tinggi ( asal bukan aspal ), pasti kemampuan Karatenya bagus setidaknya. Mental Karakternya matang. Seharusnya ! Tetapi sering nama yang berhias gelar berjajar ini. Karateka dengan strip warna emas yang berderet ini tidak sepadan dengan sikap mental dan perilaku serta tindak tanduknya yang aduhai pongah, congkak, arogan seolah olah dirinya adalah manusia paling berpendidikan dan berilmu sehingga boleh berlaku apa saja, khususnya pada masyarakat maupun warga dibawahnya yang memang dinilai dari segala sudut pandang, secara material, serta ckeinteletualannya tidak bisa dibandingkan. Tetapi belum tentu secara mental spiritual. Pejabat meremehkan masyarakat karena penyakit kanker alias kantong kering. Kalau Karateka menilai pada hirargi dan tingkatan sabuknya. Padahal, gelar itu, tingkatan itu tidak langsung menjamin sikap mental seseorang. Karena manusia mudah lupa diri dan melupakan dari mana, bagaimana dan siapa dia semula.
Lihatlah dalam kenyataan dan pada umumnya perilaku Pejabat Negara ini dan sikap karateka bertingkatan tinggi yang justru bersikap, berlaku menyimpang dari apa yang dulu pernah diyakini sebagai Sikap Mental yang harus dikembangkan. Semasa masih dalam pendidikan. Sementara masih rajin berlatih dalam dojo.
Apabila yang dihadapi kalangan kering kerontang. Sikapnya selalu bersandiwara seolah olah waktu itu sangat dia hargai dan dimanfaatkan untuk bangsa dan negara.
Jauh lebih penting dari menerima dan mendengarkan keluhan dan rintihan masyarakatnya yang `The Have Not` dan selalu menunjukkan sikap gelisah serta tidak tenang seolah olah dikejar jadwal, tugas dan pekerjaan yang harus diselesaikan dengan cepat ( Seolah olah!).
Ngak sabaran dan menganggap hanya membuang waktu serta cuma Cuma jumpa dengan masyarakatnya. Wajah tidak pernah senyum dan cara berbicara seperti ogah ogahan serta cepat cepat tidak fokus dan tergesa gesa.
Mendengarkan saja sudah dirasa sangat melelahkan. Apalagi berbuat untuk masyarakatnya yang menghadapi problim njlimet tapi kantongnya blooooong ! Tidak menghasilkan imbalan nyata !Orang jadi enggan untuk melanjutkan pembicaraan sehingga pertemuan berlangsung amat singkat, tidak terarah dan tidak tuntas.
Ini memang satu kesengajaan dan kenyataan. Bukan fitnah. Karena keadaan seperti ini banyak yang mengalaminya.
Sejak berpuluh tahun lalu hingga kini rata rata sama. Sebel dah !
Bagaimana dengan beberapa Karateka bertingkatan tinggi ? Ada kemiripan bukan ?Tetapi sebaliknya, apabila yang dihadapinya seorang `Kawan Dekat` dan tentunya berkantong tebal dan DERMAWAN istilahnya, maka suasana segera sangat bertolak belakang. Sering terdengar tawa yang meledak ledak. Sepanjang pertemuan dan pembicaraan sangat bersahabat, ramah dan bisa bertahan lama. Seolah olah si Pejabat memang sudah selesai tugas hari itu, sedang santai dan tidak ada tugas yang menantinya. Bebas terbuka. Apa sebabnya. Pikir sendiri !
`Tidak semuanya`, tetapi yang tidak semuanya ini hanya tertentu, jumlah sangat kecil dibanding yang mahal senyum dan muka masam itu tadi. Bukan rahasia lagi !Gelar tadi serta keintelektualannya jadi tidak berguna samasekali untuk menata kepribadiannya dan mendistribusikan kearifan dan nalarnya agar bisa berimbang dalam mengemban tugas Negara demi masyarakat yang harus diayominya dan tugas yang menghasilkan rezeki dadakan.
Gelar hanya dijadikan hiasan untuk bangga diri agar keren. Tidak diamalkan.Identik dengan seorang Karateka bertingkatan tinggi yang dulunya juga warga biasa. Tiba tiba lupa daratan. Mengingkari dan memungkiri gemblengan yang pernah dia dapat dan lalu jadi Karateka Sontoloyo. Karateka tidak bermartabat !
Kalau kita renungkan, maka terlihat bahwa materi, kedudukan, kekuasaan, tingkatan dengan mudah merubah diri kita menjadi manusia yang serakah dan lupa diri.
Bagian terbesar Pejabat selalu meneteskan air liur apabila rejeki dekat dihadapannya, walau melanggar hukum. Hukumpun mudah diperdagangkan ( Saya alami sendiri selama 7 tahun ). Sebaliknya, tidak akan pernah meneteskan air mata walau yang ada didepannya adalah rakyat kecil yang sangat menderita dan berada dibawahnya serta sepenuhnya membutuhkan perhatian untuk bisa diangkat ke permukaan. Bukan sekedar diberi janji janji manis.Padahal semua kedudukan dan kekuasaan serta kenikmatan hidup yang dirasakan itu dibayar dari tetesan keringat bangsa ini.Terbesar justru dari rakyat kecil seperti para petani, nelayan, pekerja kasar yang membanting tulang pagi hingga petang dengan derita dan pengorbanannya. Seandainya mereka itu tidak ada. Adakah kursi empuk diatas sana ?
Karenanya, Perguruan inipun sebagai institusi sosial sepenuhnya membutuhkan dan menggantungkan diri pada Warga ( Rakyat ). Tanpa keberadaan warga, maka Perguruan bukan apa apa dan tidak berarti apa apa. Hargailah mereka seperti Pemerintah & Para Pejabatnya yang seharusnya juga menghargai rakyatnya. Sekarang diberlakukan Pilkada. Hal ini belum menjamin terjadinya perubahan sampai kapanpun apabila mental karakter Pejabat kita pada tingkat apapun didukung Gelar Kesarjanaan berjajar berapapun kecuali ada kemauan untuk perbaikan sikap Mental – Karakter disegala bidang dari atas sampai bawah dan sadar semua ini untuk menata Indonesia menuju kebanggaan bersama. Rakyat yang sudah menderita kanker, malahan sering dilupakan dan diabaikan. ( Contoh : Lapindo ). Berapa lama masyarakat disekitarnya sudah menderita, bahkan yang lebih parah lagi para balita dan orang tua. Tetapi masih saja yang diatas sampai hati terus mengulur penderitaan ini dengan berbagai alasan dan janji janji.
Rasanya mustahil kalau benar benar tidak ada dana untuk masyarakat yang menderita ini. Press dibungkam secara halus. Rakyat disumpel mulutnya karena kebosanannya menuntut haknya. Dana milliaran bahkan trilyunan itu kalau bisa ditunda satu dua bulan saja, alangkah besarnya anak cucu dan keturunannya. Menunda dan menunda. Sebab uang memang bisa beranak cucu bahkan cicit. Tetap nikmat. Tetapi, apakah perut bisa ditunda ? Yang di atas mampu dan tega berbuat demikian. Karena apa ? Karena berbekal gelar dan kekuasaan itu tadi ! Gelar, keintelektualannya untuk mengibuli rakyat. Kekuasaan untuk menindas rakyat. Betapa ibanya hati melihat ini semua.
Dalam ukuran jauh lebih kecil. Sayapun iba dan sedih apabila melihat Karateka senior yang seharusnya jadi kebanggaan, panutan malahan kelakuannya meremehkan sesama warga Perguruan hanya karena status, tingkat hidup dan tingkatan sabuk dalam Perguruan. Karateka tidak mempunyai fungsi dan kuasa sepenti seorang Pejabat dengan Gelar Kesarjanaan yang mentereng tadi. Karateka dengan tingkatan tinggipun tidak mempunyai kuasa dan wewenang untuk ikut campur mengentas masyarakat dalam kesulitan yang hanya bisa diselesaikan Pemerintah dan Aparatnyya.
Karateka hanyalah masyarakat biasa yang mungkin mempunyai banyak strip berwarna emas di Sabuk Hitamnya yang mustahil bisa diandalkan untuk menampung dan menyalurkan derita masyarakat bawah, apalagi membantu menyelesaikan persoalannya. Karateka hanya masyarakat biasa dan bahkan sering dicemooh : `Ah, cuma seorang karatreka !` Walau demikian, tampilkan sikap dan sifat keteladanan yang baik sehingga layak jadi panutan dan memperoleh simpatik masyarakat. Harta yang berlimpah limpah kalau ada, sisihkan sedikit untuk sesama yang tidak beruntung. Jangan `congkak` dan selalu berkata : `Mereka malas sih`. Jangan jadi manusia yang sudah pelit untuk sesamanya masih menambah rasa sakit hati serta melecehkan mereka yang memang hidupnya sangat tidak beruntung. Kata kata ~ Where there is a will, there is a way ~ itu hanya kalimat penghibur. Tidak selalu berlaku. Yang biasanya berani berkata begitu kan kebanyakan mereka yang sudah sukses. Sudah vested. Sudah mapan. Beranikah sekiranya dulu masih kere ! Demikian juga dengan Karateka bertingkatan Tinggi ( Senior ). Hargailah para yuniornya, seluruh warga Perguruan ini. Mereka bukan obyek perahan, Mereka juga mempunyai peran sebagai subyek. Banyangkan seandainya Perguruan ini tanpa mereka. Bisakah Perguruan ini berkiprah. Kita merasa bangga adalah sepenuhnya karena didukung oleh warga. Warga yang perlu dibina tapi juga diayomi. Jangan pongah, congkak dan arogan seperti sebagian besar Pejabat tadi yang lupa bahwa kedudukan yang mereka rasakan dengan segala kuasa dan kenikmatan itu adalah akibat dukungan masyarakat dibawahnya.
Kalau ada kesempatan suatu saat jadi Pemimpin bidang apapun, baik pada Pemerintahan maupun Swasta yang harus memimpin dan menaungi mereka yang berada dibawahnya; tunjukkan dan tampilkan Sikap Mental Karateka. Bersikap ramah berbudaya. ( Sudah ada yang melakukan ). Tampilkan kepribadian yang luhur dan bijaksana serta selalu bersikaplah ramah dan rendah hati. Kedua faktor utama ini bukan berarti Peimpin yang lemah dan tak berpendirian. Justru sebaliknya.
Beberapa bulan lalu waktu saya akan menghadiri Pernikahan Putera Pertama Sensei Unang Hendrawan ( Senior masa tahun 1968 mulai berlatih ) di Hotel Mercure Jakarta, jumpa dengan mantan warga tahun 1970, sikapnya waktu memberi ` Oss ` waaaah, mengagumkan.
Sikapnya benar benar masih Karateka sejati padahal waktu itu hanya sampai Kyu 5. Juga, yang lain lain, mantan warga dari puluhan tahun lalu, bahkan warga sejak saya kembali dari Tokyo 1970. Luar biasa !. Mengapa justru sekarang warga terlihat loyo seolah olah tidak mengerti mengenai salam `Oss`yang sangat bermartabat bagi seorang Karateka ( Artinya yang indah ). Bahkan ada senior yang malas untuk memberi salam ` Oss`. Dengan komentar yang ` Sontoloyo` : ‘ Bosan aahhh ass oss…ass oss. Bahkan menulis saja malas., Ini lho yang saya gelari Senior Sotoloyo². Sakit hati, silahkan !. Yang sakit hati kan yang merasa. Yang sudah konsisten ya senyum senyum saja. Ini pasti lebih banyak bukan ?Ingat Motto Perguruan :
Karateka menghormati masyarakat, masyarakat menghargai karateka Semoga bisa diamalkan.
Karateka menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bukan sebaliknya.o0o
( nardi tn – VIII, 07)