Dinamika Perguruan (1971-1976)

Karate sendiri secara nyata masuk Indonesia tahun 1964. Salah seorang pionir adalah Bapak Drs. Baud A.D.Adikusumo dari aliran Shotokan dan diikuti beberapa tokoh karate yang lain seperti Bapak Sabeth Muksin, Anton Lesiangi dan lain-lain. Mereka kembali ke Indonesia setelah menjadi mahasiswa di berbagai disiplin ilmu di Perguruan Tinggi di Jepang dan berlatih karate disana dari berbagai aliran karate seperti Shotokan, Gojukai dan Wadokai serta yang lain.Tetapi terbanyak adalah dari aliran Shotokan karena Shotokan ini memang mendominir perkaratean Jepang.

Karena karate sebagai olah raga termasuk baru, maka bersama-sama mereka mendirikan PORKI, yaitu Persatuan Olah Raga Karate Indonesia, wadah untuk perkaratean di Indonesia. Dengan terbentuknya wadah ini, karate bisa diakui KONI, yaitu: KOMITE OLAH RAGA NASIONAL INDONESIA. Malang, si bayi bernama karate yang berinduk-kan PORKI ini terus ribut sejak kelahirannya. Kegaduhan terjadi tak henti-hentinya, saling tidak mau memberi dan menerima (Give and Take). Muncul sifat dan sikap yang menonjolkan diri paling benar dan saling mengklaim.

Yang baru datang dengan tingkatan lebih tinggi menimbulkan permasalahan dan berbagai penyebab lain tentunya. Bisa dibayangkan, dari satu aliran saja dan aliran diluar Shotokan yang tergabung dalam WUKO, yaitu:World Union Of Karate Do Organizations bisa demikian runyam dan tidak bisa damai, apalagi terhadap Kyokushin Karate yang didirikan Master Oyama dengan sistim Full Body Contact (Secara resmi juga tahun 1964), suatu aliran yang terbentuk paling muda diantara aliran yang lain dan di Jepang sendiri memang disisihkan dan dikecilkan artinya, seperti peristiwa di Singapore, yaitu Mr.Peter Chong kurang rela kalau ada pribadi dari Indonesia, negara yang besar dan luas ini, muncul karateka Kyokushin yang mungkin bisa lebih mendominir Asia Tenggara.

Demikian juga, mau tidak mau Perguruan ini terkena percikan-percikan dan imbas yang tidak membahagiakan. Mereka rata-rata di Jepang sudah mendalam memperoleh pengaruh untuk tidak simpatik kepada aliran baru ini, maka di Indonesia Perguruan inipun menjadi sasaran. Ini kenyataan dan bisa dibuktikan berita Media Cetak saat itu. Cemooh, ejekan dan pendiskreditan terhadap Perguruan yang masih muda ini terjadi, bahkan di mass media cetakpun muncul tulisan-tulisan yang sangat meremehkan dan sangat menyinggung perasaan, merendahkan secara terang-terangan keberadaan Master Oyama dan aliran Full Body Contactnya.

Nardi selalu memberi sanggahan berdasarkan logika dan kenyataan. Logikanya, salah satu contoh, mungkinkah Perdana Menteri Jepang Eisaku Sato waktu itu menjadi Presiden Kyokushinkai-kan sekiranya aliran baru ini KARATE GADUNGAN?!, dan walaupun hal ini terasa pahit, tetapi sangat menguntungkan pertumbuhan Perguruan. Dari perang berita ini, masyarakat umum makin mengenal Perguruan ini dan memang sudah menjadi hukum alam, siapa yang tertindas pada umumnya akan selalu lebih banyak memperoleh rasa simpatik.

Tulisan Nardi di media cetak seperti KOMPAS, SINAR HARAPAN (waktu itu) sekarang SUARA PEMBARUAN dan Koran MERDEKA banyak memuat berita Perguruan ini sehingga Oyama Karate makin dikenal secaca luas. Dokumen pemberitaan media cetak itu masih tersimpan di Pusat setelah 30 tahun lebih keberadaannya. Kalau di Jawa Timur perguruan berusaha dengan sekuat tenaga menampilkan wajah karate yang manis, damai dan bersahabat agar mendapat simpatik masyarakat, di Ibu Kota karate tak henti-hentinya ribut dan saling gontok-gontokan, baik di pertemuan-pertemuan, di Kongres dan bahkan di Kejuaraan Umum yang ditonton masyarakat luas. Sungguh sayang. Semua ini sangat merugikan nama karate pada umumnya.

Penilaian dan pandangan masyarakat luas bisa sangat negatif terhadap karate apalagi karate hal yang baru dan masih asing saat itu. Seorang tokoh masyarakat kelahiran Jawa Timur juga waktu itu, Bapak WIDJOJO SOEJONO, Pangdam VIII Brawijaya sangat prihatin melihat ini semua. Apalagi sebuah Perguruan yang tumbuh di Jawa Timur dari kota kecamatan Batu juga terkena imbasnya. Bapak Widjojo Soejono menyadari hal ini harus dihentikan dan perkaratean di Indonesia selayaknya hidup berdampingan secara rukun dan damai. Saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Ide ini terasa klop dengan pemikiran Bapak Soerono,seniornya dari KONI Pusat.