Saat Hendro Wibowo melanjutkan perjalanannya ke Jerman Barat setelah kurang lebih tinggal di Singapore hampir sepuluh hari, Nardi tidak bisa langsung menuju Tokyo, Jepang dan tertunda di Singapore karena kiriman dana untuk perjalanan dengan pesawat tidak segera datang dan terpaksa tinggal di jalan St.Francis Road No.88 Singapore untuk beberapa saat sambil ikut berlatih di dojo Mr.Peter Chong yang terletak di lantai bawah.
Kengerian dan kegelisahan sudah mulai menghinggapi Nardi, kuatir rencananya kandas dan gagal dan harus kembali ke Tanah Air dengan tangan hampa. Tinggal di Singapore, tertunda keberangkatan menuju Tokyo untuk bisa ikut berlatih pada Latihan Khusus Black Belt Course For Instructors Tokyo Honbu merupakan siksaan bathin tersendiri karena hal ini akan merupakan pemborosan waktu yang pada hakekadnya sangat bernilai tinggi. Disamping waktu, juga biaya akan membengkak padahal tujuan utama adalah Tokyo Honbu dan keadaan keuangan yang sempit serta janji dana dari Tanah Air sangat tidak berketentuan.
Keadaan diperburuk karena Mr. Peter Chong sebagai perwakilan Kyokushinkai-kan untuk Asia Tenggara kurang dan bahkan samasekali tidak mendukung rencananya, keinginan dan cita-cita Nardi memperdalam Kyokushin Karate di Tokyo Honbu. Hal ini sejak semula memang sangat terasa. Dalam keadaan terkatung-katung ini tiada harapan lain yang bisa membantunya kecuali kebesaran dan kemurahanNYA. Nardi percaya hal ini akan terjadi walau sebagai manusia biasa tidak akan lepas dari kelemahan dan kekurangan tetap masih merasa was was !
Apa yang diharapan dan dicita-citakan terasa makin jauh. Dana yang dijanjikan dari Indonesia terus meleset dari jadwal yang telah direncanakan sedangkan sedikit dana yang terkumpul dari hasil anggota yang berada di Tanah Air tidak mencukupi.
Latihan di Singapore terasa tidak membawa dan memberi manfaat karena disiplin yang rendah dan tidak terarahnya latihan serta kurang berbobot. Di Indonesia waktu itu, latihan lebih tertib dan disiplin, mantap terarah dan bergairah penuh semangat. Keadaan ini memberi pukulan yang luar biasa pada bathin Nardi dan terasa sangat menyiksa. Beberapa minggu di Singapore terasa laksana beberapa bulan karena rasa kejenuhan yang terus melilit didalam jiwa raga dan semangatnya makin merosot, tetapi dengan tabah selalu dicoba untuk mengatasinya.
Betapapun besarnya cita cita ke Tokyo Honbu tetapi rasa rindu rumah ( home sick ) dan juga kepada anggota yang ditinggalkannya besar sekali. Maklum, baru pertamakali berada seorang diri di luar negeri dalam keadaan amat sulit. Pengalaman sejak 1959 hingga sekitar 1967 berada di Jakarta membantu dan memperkuat diri dan bathinnya pada saat berada di perantauan ini walau terasa sangat menyiksa.
Akhirnya, setelah sekitar dua bulan berada dalam penderitaan lahir bathin di Singapore, ada kabar gembira bahwa dana untuk ke Tokyo segera dikirim. Akhirnya dana yang ditunggu-tunggu dengan kecemasan dan kebimbangan datang tetapi membuat rasa kecewa makin dalam, bukannya tidak berterimakasih akan apa yang didapatnya tetapi karena dana ini hanya cukup untuk one way ticket, sekali jalan. Keadaan ini pasti merupakan salah satu halangan untuk bisa melanjutkan perjalanan serta belajar dan tinggal di Jepang karena saat itu peraturan mengenai menetap dan belajar di Jepang sudah demikian ketat.
Jepang tidak mau berisiko dengan menanggung beban bagi pelajar bidang apa saja yang akan mengikuti pendidikan di Negeri Matahari Terbit ini, dimana ada kemungkinan siswa tersebut harus dikembalikan atau kembali ke Tanah Air karena satu dan lain alasan serta penyebab yang tidak terduga sebelumnya dan tidak ada dana untuk kepulangannya. Karenanya, syarat ‘retour ticket‘ mutlak harus bisa ditunjukkan dan dipenuhi dalam mengurus perijinan pada kantor Imigrasi setempat sebelum berangkat ke Jepang, apalagi harus diurus di Singapore. Nardi nyaris putus asa dan frustasi sebagai seorang pemuda yang sangat tidak berdaya saat itu.
Kepergian Nardi ini memang atas tekad dan inisiatif pribadi. Dari keterangan Kantor Keimigrasian Jepang di Singapore telah didapat keterangan yang lengkap dan jelas,yaitu: Untuk belajar dan menetap di Jepang diperlukan ‘retour ticket’ yaitu tiket pergi pulang Singapore – Tokyo dan Tokyo – Jakarta. Adanya Bank Guarantee pada salah satu Bank di Tokyo atas nama Pemohon / Penjamin dan Surat Jaminan dari Perwakilan di Singapore atau dari Tokyo Honbu. Persyaratan ini sungguh sangat berat dan mustahil bisa terpenuhi.
Rasanya rencana ini akan gagal total. Mr. Peter Chong melihat kesulitan ini tidak terlihat perduli dan tidak memberikan reaksi sedikitpun apalagi bersedia memberi bantuan atau Surat Jaminan. Malahan dalam kesulitan yang hampir tak teratasi ini Mr. Peter Chong menawarkan pada Nardi agar tidak perlu ke Tokyo Honbu. Tetap di Singapore saja sebagai Asistennya dan memperoleh bagian tiap bulan dari hasil dojonya.‘I will share with you’ katanya. Nardi menolak tawaran ini dengan halus.
Tawaran ini merupakan cara halus untuk menahan rencana Nardi melanjutkan perjalanan ke Tokyo Honbu. Nardi sadar bahwa rencana ini apabila berhasil akan meredupkan posisinya di Asia Tenggara. Hal inipun disampaikan oleh Sekretaris Pribadinya (Mr.St.L.) yang amat bersimpatik pada Nardi.
Ajakan ini dijawab Nardi dengan ramah, berterus terang dan ucapan terimakasih. Dijelaskannya cita-cita dan keinginan Nardi pergi memperdalam ke Tokyo Honbu adalah bukan semata-mata bersifat petualangan pribadi dan coba-coba, tetapi didorong cita-cita yang dalam dan sejak lama terpendam di dalam bathinnya serta merupakan misi dari staf di Indonesia bersama seluruh warga yang sangat mendambakan keberhasilannya. Keinginan untuk memenuhi harapan para senior dan pendampingnya ini terutama sejak mulai Perguruan berkembang, oleh rasa tanggung jawabnya terhadap anggota yang menunggu di Indonesia dengan penuh harapan tidak bisa diabaikan begitu saja.
Saat itu Perguruan sudah berusia sekitar tiga tahun dan sudah meluas di Jawa Timur dan mulai menarik simpatik masyarakat luas. Warga dimanapun dalam keadaan apapun berani mengucapkan salam karateka ‘Oss‘, singkatan dari kata ‘Oshi Shinobu‘ sebagai salam para karateka dimanapun berada dan dipakai serba mengena untuk berbagai keperluan diantara para karateka (baca buku catatan) yang ditelinga masyarakat awam saat itu masih terasa aneh dan janggal sehingga sering dicemooh dengan kata kata os os os!.Tetapi warga tetap tegar dan salam ini tetap berkumandang dimanapun berjumpa dengan sesama karateka dan para seniornya selain di dojo saat latihan. Akhirnya masyarakat menyadarinya dan menghargainya.
Kembali ke masalah ajakan Mr. Peter Chong; mendengar jawaban Nardi itu wajah Mr. Peter Chong berubah agak memerah, sejak saat itu juga Mr. Peter Chong jarang bermuka ramah apalagi mau bercakap cakap pada Nardi seperti sediakala. Sikap tak perduli makin terasa dan berusaha untuk menghindari Nardi kecuali dalam keadaan terpaksa.Teman teman berlatih banyak yang membuat Nardi tenteram karena masih ada pribadi yang memahami keadaannya yang sulit dan serba terjepit ini.
–BERSAMBUNG–