MUTLAK DAN PERLU DALAM PERTANDINGAN KARATE `FULL CONTACT SYSTEM`
SATU KENANGAN MASA LALU
Pada saat `Full Contact System` mulai diperkenalkan secara terbuka di negeri asal karate berkembang Jepang; yaitu pada : All Japan Open Karate Tournement 1972, puluhan tahun lalu, terlihat dengan nyata demikian besar antusias masyarakat khususnya dan Pengamat Seni Beladiri akan sistim Pertandingan Kyokushinkai Karate yang diolahragakan ini karena baru pertamakali satu pertandingan karate dilaksanakan dengan satu sistim yang lain dari biasanya. Sampai saat itu Pertandingan Karate yang ada mempergunakan Non Contact System yang juga dikenal dengan Control System. Gebrakan dalam sistim pertandingan yang revolusioner ini menarik minat umum untuk menyaksikan bagaimana sebenarnya sistim ini dalam Pelaksanaan Pertandingan Karate. Kenyataan ini terlihat dari berjubelnya penonton dan panjangnya antrian orang yang ingin mendapatkan karcis masuk Municipal Gymnasium Tokyo dimana Kejuaraan akan berlangsung. Sejak pagi gedung sudah dipadati penonton. Juga sambutan press Jepang maupun dari luar waktu itu cukup menunjang. Terlihat dari banyaknya kalangan press dengan tanda khusus didadanya mondar mandir.. Tetapi sebaliknya, dari Tokoh Perkaratean Aliran Lain yang sejak semula sudah menampilkan sikap antipati pada Mas Oyama sejak berpuluh tahun sebelumnya karena merasa dilangkahi oleh usaha keras Mas Oyama untuk mengubah image masyarakat dunia khususnya terhadap perkaratean yang hilang daya tariknya. Umpamanya, Karate kepopulerannya dibawah Judo waktu itu yang di Jepang dimodernisir oleh Prof. Jigoro Kano dari Jujitsu yang kurang sistimatis dan ilmiah dipolesnya menjadi sistimatis, diilmiahkan dengan metode yang lebih bisa dinikmati umum. Mereka yang kurang senang dengan sepak terjang Mas Oyama ini adalah orang orang yang merasa memiliki dan menguasai Seni Karate di Jepang sudah lebih lama menduduki Kursi Singgasana Perkaratean Jepang, sejak Shurite, Nahate, Tomarite yang diluar dikenal dengan Okinawate – Tangan Orang Okinawa masuk ke Jepang, dipelopori Master Gichin Funakoshi sekitar tahun 1923 sebagai pionir, saat Mas Oyama baru lahir di Korea, Negara asalnya sebelum berimigrasi ke Jepang. Beberapa tokoh ini dengan aliran, ciri ciri serta sistim masing masing yang sudah pasti banyak dipengaruhi keakhlian tokoh tokoh Seni Beladiri di Okinawa mulai memperkenalkan Ilmunya di Jepang. Umpama; Master Gichin Funakoshi dengan Shotokannya, Master Gogen Yamaguchi dengan Gojukainya. Master Kenwa Mabuni dan lain lain, jauh sebelum Mas Oyama memproklamirkan Kyokushinkai Karatenya sekitar Februari tahun 1957 di Mitsumine Shrine ( Kuil Mitsumine ) dengan beberapa murid utamanya.. Sebenarnya orang Okinawa banyak yang terkenal dengan cara pembelaan diri tangan kosong, tanpa sejata ini dikarenakan duakali Penguasa Pulau Kecil ini melarang masyarakatnya memiliki senjata atau menyimpannya. Sebagai akibatnya, orang orang yang mempunyai kelebihan dan pengetahuan ( Pengaruh dari pendatang sebelumnya dari Daratan Tiongkok – Shiao Lim Si Kungfu ), mengembangkan diri untuk mempersenjatai diri tanpa senjata. Lahirlah tokoh tokoh yang sangat berperan dan berpengaruh dalam pengembangan karate di Jepang.
Mas Oyama juga mengakui pernah berlatih dibawah asuhan Master Gichin Funakoshi berlatih dengan puteranya Giko Funakoshi. Juga dibawah Master Gogen Yamaguchi dengan Gojukainya dan lain lain. Hal ini tidak perenah disangkalnya pada saat masa mudanya. Juga, pernah menjuarai Kejuaraan Jepang tahun 1947, tentunya dengan sistim pertandingan yang sudah ada waktu itu; yaitu : Non Contact System. Khususnya, saat All Japan Open Karate Toutrnament I, 1972 ini diperkenalkan sebagai realisasi cita cita Master Oyama, banyak berhembus suara sumbang baik dengan terang terangan maupun dengan bisik bisik diantara pemegang dinasti perkaratean di Jepang ini karena Organisasi Karate yang dipelopori Mas Oyama; yaitu : Kyokushinkai – Kan Karate Organization ini diluar Persatuan Karate Jepang (JKA). Percikan suara suara ini sempat keluar dan beredar di tengah masyarakat yang intinya bahwa; sistim Kyokushinkai Karate dengan Full Contact System ini diciptakan dan diperkenalkan oleh seorang Karateka Barbarian yang menyimpang dari Jiwa Karate Do.
Diumpamakan Mas Oyama sebagai Karateka yang melupakan Pohon Asal dimana dia pernah berada didalamnya dan sekarang beredar diluar lingkaran domein perkaratean Jepang yang asli seperti daun kering yang tak berguna dan terbuang. Karateka yang hanya mengandalkan kekuatan phisik belaka ( Adu Otot saja,istilahnya ). Rekan rekan saya waktu berlatih di Tokyo Honbu dulu, setelah pertandingan All Japan I usai, banyak membicarakan gunjingan dari keturunan Dinasti Perkaratean Jepang yang dulu mendominasi perkaratean Jepang.
Master Oyama dianggap sebagai `Outsider` didalam dunia karate Jepang sejak beliau terlihat aktif menghidupkan gagasannya dan makin dipojokkan, dimusuhi dan dikucilkan apalagi setelah Show Of Force terbuka ini. Sifat serakah manusia, dengki dan iri hati pada umumnya menumbuhkan sikap merendahkan derajat orang lain karena tidak tahan apabila melihat sesamanya lebih berhasil walau semua itu atas dasar perjuangannya sendiri dalam mencapai kemajuan apalagi lebih spektakuler dan mengungguli apa yang sebelumnya dianggap super, sempat bercokol diawang awang dunia fatamorgana perkaratean Jepang.
Yang Master tetap ingin jadi Master Karate. Orang lain seolah olah tidak boleh mengunggulinya. Karate, seperti saya katakan dalam tulisan tulisan lain, diperlakukan sebagai obyek yang dipolitisir dan dijadikan sarang orang orang yang berpandangan sempit dan berprinsip seperti mengelola sebuah Organisasi Masa – Partai Politik atau dalam mengelola Dunia Bisnis dimana selalu terjadi saling sikut menyikut, menimbulkan gesekan dan saling jegal demi kedudukan dan ambisi kekuasaan dan tidak rela apabila melihat yang lain bangkit dan sukses, berusaha keras untuk membendungya dan menenggelamkannya dengan segala alasan dan cara. Memaksakan agar dunia harus mengakui hanya dirinyalah yang terbaik. Padahal, setelah Perang Dunia II usai, mata dunia lebih terbuka bahwa hanya yang unggul dalam kenyataan yang tetap bisa survive. Paksaan jadi sesuatu yang sangat tidak disenangi dan bahkan dijauhi. Dalam muhibahnya keluar negeri, sangat besar jasa Mas Oyama dalam memperkenalkan Ilmu Karate yang sudah diakui sebagai salah satu Seni Berbudaya Jepang walau semua itu tidak lepas dari induknya di daratan Tiongkok. Shaolim Kungfu. Untuk ini semua Pemerintah juga tergugah untuk memberi penghargaan dan dalam usia yang paling muda dalam perkaratean di Jepang, Organisasi Karate Kyokushinkai – Kan ini dua Perdana Menteri pernah menduduki tempat terhormat didalamnya; yaitu . Eisaku Sato dan Takeo Miki. Hal ini membuktikan Pemerintah Jepang menghargai Mas Oyama sebagai Tokoh Perkaratean nyata abad modern di Jepang. Dan juga sebagai Duta Seni yang sangat menguntungkan nama Jepang di forum Internasional khususnya setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, 1945.
Semua usaha untuk mengebiri kebesaran Mas Oyama tidak membuahkan hasil, bahkan tidak mengurangi kepopuleran Oyama Karate. Makin tersebar luas di dunia dan terus meningkat, melebihi yang lain yang stagnan dan menonjolkan serta mengagung agungkan Silsilah Perkaratean laksana Kaum Ninggrat yang bangga akan aliran darah birunya pada dirinya ( Diistilahkan `Darah Biru` karena keturunan ninggrat adalah manusia yang tidak pernah bekerja keras, sehingga seolah olah darahnya biru, tidak merah membara ! ). Padahal dalam karatepun, seperti halnya ilmu yang lain, sudah selayaknya mengalami perubahan baik secara evolusi maupun revolusi demi mencapai kemajuan dan memenuhi tuntutan serta perkembangan jaman. Yang harus tetap dipertahankan sepanjang masa adalah` Fasafahnya` yaitu : Intisari Bushido yang memang Universal. Tahan menghadapi masa kapanpun. Yang dinilai dunia adalah kenyataan, bukan halusinasi dan imaginasi ke masa lampau terus menerus. Kapan kita sempat memikirkan kemajuan.
Saya teringat puluhan tahun masa lalu saat keadaan Perkaratean di Indonesiapun tidak pernah tenang sekitar 1966 – menjelang akhir 1972 karena saling merasa berhak, merasa paling tinggi tingkatannya, perebutan kedudukan dan status diantara tokoh tokoh yang waktu itu merasa paling layak setelah mereka secara bertahap kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun belajar sebagai Mahasiswa di Jepang, kebanyakan didanai dari hasil pampasan Perang Dunia II dari Jepang. Beberapa tentunya ada yang belajar karate, terbanyak beraliran Shotokan, karate yang dikembangkan oleh Master Gichin Funakoshi di Jepang dan beberapa lainnya seperti Gojukai, Wadokai dan sebagainya. Menjelang akhir tahun 1971 saat Perguruan ini bak bayi baru belajar merangkak, tidak ingin ikut ikutan membuat keributan karena tidak pernah terinfiksi hal hal buruk yang terjadi di dunia karate Jepang saat memperdalam di Tokyo Honbu, lagipula memang dilarang oleh Mastrer Oyama untuk membicarakan dan membanding bandingkan dengan karate lain bagi para warga.Yang ada hanyalah pikiran untuk tumbuh sehat, berlatih keras dengan usaha terencana serta bersih dari pengaruh kanan kiri yang sekiranya akan menodai nama karate secara keseluruhan, tetap terkena imbas sifat arogansi dari keturunan dinasti yang dibawa dari negara leluhur perkaratean di Jepang.
Satu penghinaan yang luar biasa dan ejekan yang merendahkan derajat Mas Oyama yang ditulis seorang “karateka intelektual picik seperti katak dibawah tempurung” pada salah satu Media Cetak Nasional yang cukup berpengaruh; bahwa Master Oyama itu Karateka Gadungan dengan alasan dan dasar pandangan sempit, dicari cari dan berlandaskan Text Book yang ditulis Maha Gurunya di Jepang melalui guru gurunya saat belajar di Tanah Air secara sepihak tentang Mas Oyama dan Kyokushinkai Karate. Perguruan PEMBINAAN MENTAL KARATE ini yang saat itu mulai tumbuh merangkak tadi, dihinakan keberadaannya. Dianggap sebagai Perguruan Karate Kampungan dan dengan bangganya sebagai karateka Ibu Kota menilai Perguruan yang baru tumbuh ini dikelola oleh manusia ibaratnya ketururunan kera di Hutan Desa barangkali ?!. Memang dengan tegas tanpa rendah diri saya akui, tidak pernah sekalipun menyangkal kenyataan siapa diri saya., manusia papa yang dilahirkan di sebuah gubuk desa Karangploso tahun 1939 dan karena keterpaksaan di jaman revolusi dan masa perjuangan untuk kemerdekaan serta ganasnya suasana masa itu, sekitar 1947 harus diungsikan dan mengungsi ke Batu, sebuah Kota Desa ( Kecamatan ) dipinggiran Kabupaten Malang tidak jauh dari Karangploso yang nyata hampir tidak ada yang mengenalnya saat itu. Hal ini ternyata kalau saya mengadakan Press Meeting di Jakarta sekitar tahun 1974, nama Batu apalagi Karangploso, tidak ada yang mengenalnya saat itu, kecuali Malang sebagai Ibu Kota Kabupaten..
Cita cita dan usaha keras untuk merealisir mendirikan sebuah Perguruan Karate berlandaskan dasar dasar yang mantap dan sesuai arti Seni Perkasa ( Martial Arts ) sudah merupakan ketetapan hati sejak mulainya Perguruan ini disemai 7 Mei 1967. Pusat Perguruan PEMBINAAN MENTAL KARATE ini tetap berpusat di Batu hingga sekarang Orang pertama yang membawa OYAMA`S KARATE SYSTEM masuk Indonesia tahun 1970.. Apapun yang dilakukan orang untuk mengecilkan arti Oyama Karate yang melahirkan Kyokushinkai Karate Do dengan Full Contact Systemnya, tidak berpengaruh sedikitpun dan nyatanya dunia makin merespons baik.Kyokushinkai Karate, walau belakangan timbul permasalahan sebagai akibat kepopuleran aliran baru ini, menjadi rebutan dan diperebutkan seperti dikatakan Master Oyama bahwa akan muncul banyak orang yang ingin mengaku paling berjasa dan ingin memiliki kebesaran nama sistim Oyama ini tanpa mengindahkan tata krama dan Bushido. Kalimat ini dikatakan puluhan tahun lalu yaitu tahun 1970 dalam sebuah makan bersama disebuah Hotel untuk menjamu tiga rekannya dari Korea dimana saat itu saya diajak, malahan saya diminta untuk bernyanyi `Bengawan Solo` oleh salah seorang tamu dari Korea. Rupanya lagu Bengawan Solo dikenal juga di Korea. Saya dikatakan mirip orang Jepang dan juga seperti orang Korea kata satu diantara tiga tamu Master Oyama.. Saya jawab bahwa saya adalah Chinese but Indonesia Citizen.Lahir dan besar di Indonesia.
Waktu salah seorang tamu Korea menanyakan nama keluarga cina saya sebelum berganti nama Indonesia, saya jawab bahwa nama keluarga saya: ” Kang “. Mendengar kata itu, seorang rekan Master Oyama dari Korea itu berkata bahwa nama keluarga “Kang ‘ banyak di Korea dan mungkin saya ini masih keturunan orang Korea, kelakarnya dalam bahasa Inggris yang kurang jelas sambil mengakak, tetapi bisa saya tangkap inti kata katanya. Akhirnya saya diminta untuk menyanyikan lagu Bengawan Solo tadi. Agak lupa beberapa kata dalam syairnya tetapi tetap saya nyanyikan sesuai yang saya ingat. Sungguh, sebagian kata katanya menghilang tiba tiba dari ingatan saya karena mungkin agak grogi waktu itu.
Apapun dan bagaimanapun usaha mereka yang tidak senang dengan revolusi dalam karate yang dipelopori Master Oyama, tetap bola salju ini tidak berhenti dan menggelinding terus, malahan makin membesar. ” The show must go on ” dan ” Full Body Contact System must still be a reality in the Karate World “. Setelah sekitar 35 tahun sistim ini dipertunjukan untuk umum, ternyata Full Contact System makin dikenal di seluruh dunia. Satu kenyataan yang sulit dipungkiri walau segala sesuatu itu tidak lepas dari kekurangan dan penyimpangan penyimpangan yang dilakukan penerusnya. Ada positif ada pula negatifnya. Mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tinggal ditimbang mana yang lebih berat. Hal yang selalu terjadi di dunia, juga dalam karate seperti dikatakan Master Oyama saat itu mengenai orang orang yang akan merebut kepopuleran Mas Oyama demi keuntungan pribadinya sendiri.
Diperkenalkannya secara terbuka Full Contact System pada All Japan Karate Open Tournament di Municipal Gymnasium Tokyo Jepang tahun 1972 itu, merupakan pertandingan Internasional Kyokushinkai Karate yang diolahragakan pertama kali untuk umum dan memang tidak diadakan Pembagian Berat Badan. Terbuka untuk siapa saja. Semua ini berdasarkan landasan pemikiran `Pendobrak` dunia perkaratean yang sebelumnya stagnan tanpa gairah.
Sistim ini karena berlandaskan kemampuan, kelebihan dan segala pengalaman Pendiri Aliran Baru ini melalui pesona yang mengikat perhatian dunia dengan keunggulan karatenya, maka sudah tentu ada segi positifnya; yaitu : Nyata, Full Contact System dalam karate sebagai Seni Beladiri tetapi juga tidak lepas dari kelemahan yang ada pada Sistim Pertandingan yang Tanpa Pembagian Berat Badan itu. Tidak semua Karateka yang dilahirkan aliran ini atau siapapun yang belajar Seni Beladiri selalu mampu dan sanggup menyamai prestasi Pendirinya. Inilah permasalahannya yang ingin saya utarakan dalam pemikiran sesuai kenyataan melalui pengamatan, analisa dan pengalaman serta praktek nyata.
Master Oyama mempelopori Full Contact System ini, intisarinya karena kekecewaannya melihat Karate ` Sebagai Seni Beladiri ` seharusnya didekatkan pada kenyataan, baik dalam latihannya sehari hari maupun bentuk Side Shownya; yaitu : Karate yang diolahragakan. Malahan dalam karate diberlakukan peraturan yang terlihat abstrak dan menjauhi kenyataan dengan No Contact System ( Control ) alias tidak diperkenankan kontak tubuh atau dilarang nya pukulan dan tendangan mengenai tubuh lawan dalam Pertandingan. Berarti harus berkenti beberapa cm mungkin dari sasaran.Waktu itu peraturan demikian ketat. Sedangkan seperti pada tinju dan yang lain seperti Kick Boxing atau Judo dan Gulat, bisa dilihat dan dinilai kemenangan nyata malahan dalam Tinju dan Kick Boxing diharapkan dan diperkenankan meng K.O. lawan. Kejanggalan ini dirasakannya pada Kejuaraan di Jepang yang diikutinya. Protes dalam hatinya melihat seorang yang sanggup memukul jatuh lawannya, malahan didiskualifikasi. Bukan memprotes akibatnya, tetapi sebabnya dan penyebabnya ini yang harus direvisi dan ditata kembali, pikirnya.
Tidaklah salah pemikiran seperti ini. Kalau kita mau secara obyektif dan melihat kenyataan, pasti bisa menerimanya. Setidaknya dalam bentuk pemikiran dan logika. Tidak menghujat sebagai Karateka Gadungan akibat revolusinya dalam dunia karate. Yang terjadi di Jepang, mirip keadaan dunia perkaratean di Tanah Air yang selalu bergolak diantara Para Pimpinan Perguruan yang ada sebelum terbentuknya FORKI, yaitu Federasi Olah Raga Karate Do Indonesia pada Kongres PORKI IV – Persatuan Olah Raga Karate Do Indonesia di Jakarta menjelang akhir tahun 1972. Dipelopori dan dimotori oleh Bapak May.Jen. TNI Widjojo Soejono, Pangdam VIII Brawijaya waktu itu dan terpilih sebagai Ketua Umum PB FORKI I yang sangat prihatin melihat Dunia Perkaratean di Indonesia terus gontok gontokan, bergolak tanpa penyelesaian yang komprehensif satu sama lain.
Dalam penuturan seorang senior di Tokyo Honbu waktu saya berada disana, diceritakan bahwa; karena jengkelnya Master Oyama melihat suasana perkaratean di Jepang yang terus saling pojok memojokkan, rebutan pengaruh dan kedudukan, bergejolak tiada habis habisnya, maka suatu saat berkatalah Pelopor Full Contact System ini : ` Marilah kita pergi ke salah satu kuil dan disana kita bertanding secara fair. Yang menang itulah Karate yang baik`. Barangkali kata kata keras Founder Kyokushinkai Karate ini bisa diartikan sebagai satu tantangan sampai terucapkan karena saking jengkelnya melihat tokoh tokoh lain mengumbar arogansinya dan juga cara cara menyudutkan Mas Oyama`s Karate seperti dikatakan seorang Karateka di Tanah Air yang menyebut Master Oyama sebagai Karateka Gadungan. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Like father like son !. Tanggapan waktu itu sudah cukup jelas untuk memukas omongan keji ini.
SEBUAH KRITIK
Dalam Tournament Internasional I ini Para Peserta datang dengan berbagai macam kondisi phisik dan ketrampilan yang beraneka ragam. Juga diikuti oleh beberapa Perguruan Seni Beladiri baik karate maupun diluar karate dengan rasa keingintahuan bagaimana Full Contact itu dalam karate sebenarnya. Ada yang besar tinggi, tetapi tidak sedikit yang tubuhnya sedang bahkan pendek dan ringan. Mereka seolah olah ingin menguji kemampuan diri dengan landasan kemampuan tehnik dan semangat yang dimilikinya bahkan sebagian sepertinya tanpa memperhitungkan dan mempertimbangkan kemungkinan kemungkinan yang tak terduga sebelumnya.Banyak Karateka dari Luar Negeri, juga dari Jepang sendiri yang sebenarnya mempunyai potensi dan berkualitas, harus tidak berdaya dan kalah berhadapan dengan Karateka yang jauh lebih besar. Dari Jepang rata rata merupakan pilihan yang sudah dipersiapkan lama dengan berat dan bentuk badan cukup tinggi besar. Banyak juga Peserta dari luar Jepang khususnya dari Amerika dan Eropa yang ukuran badannya diatas rata rata peserta pada umumnya dan bisa mengimbangi postur Karateka Jepang yang pilihan itu tadi untuk ikut terjun.
Banyak peserta dinilai dari segi kualitas dan semangat secara nyata unggul dari Karateka yang bertubuh lebih besar, terpaksa harus kalah hanya karena perbedaan tinggi, berat badan sangat mencolok. Berbeda 20 – 30 Kg. Bahkan lebih !.
Karateka berbadan besar dari Luar Jepang walau ada beberapa yang baik dan sanggup mengimbangi serta menandingi Tunan Rumah, kalau berhadapan lebih banyak tersingkirnya, setelah dihadang dengan berbagai cara, apapun yang dilakukan oleh Karateka luar Jepang ini, unggulpun, sulit dan hampir mustahil bisa memenangkan pertandingan dan pasti gagal kecuali bisa meng K.O. tuan rumah dengan nyata. Sejata pamangkas biasanya `Timbang Badan`. Apalagi Karateka berbadan sedang saja. Tidak ada kesempatan samasekali untuk bisa maju ke babak berikiutnya.
Tidak bisa disangkal bahwa banyak juga petanding dari luar Jepang yang tidak tahu diri. Kejuaraan Tingkat Dunia ini mungkin hanya digunakan sebagai kesempatan rekreasi ke Tokyo atau coba coba mencari sensasi. Dengan kemampuannya yang menyedihkan dan badannya yang imut imut seperti peragawan, berani berspekulasi untuk ikut didalam pertandingan keras ini. Jelas akan terlihat sangat menggelikan. Jadi bulan bulanan tanpa daya.
Padahal, dilihat dari Peraturan dan Ketentuan yang berlaku, jelas masih ada kemungkinan bagi peserta yang berat badannya hanya sedang, apabila ketahanan phisik, sikap mental bertanding, tehnik dan semangatnya mumpuni, berimbang saja bisa memenangkan pertandingan dengan jaminan Peraturan Keputusan Timbang berat badan dan yang lebih ringan badannya akan diberi kemenangan dari `Hasil Timbang` ini. Bukan dihempaskan begitu saja sebagai Petanding yang tak berguna dan tanpa dihargai segala usaha dan kemampuannya seolah olah hanya digunakan sebagai pelengkap belaka.
Tapi, pada kenyataan, jangan harap Peraturan Timbang Berat Badan ini bisa terjadi kalau seseorang berhadapan dengan Tuan Rumah dan Tuan Rumah merupakan Karateka yang dinominasikan sebagai juara kelak sedangkan Karateka lawanya sudah nyata lebih ringan badannya. Dan sebaliknya. Kalau nyata nyata Karateka Tuan Rumah lebih berat, menimbang berat badan pasti dihindari. Bagi yang berbadan sedang sebenarnya menyadari bahwa sulit untuk mencapai tingkat juara, yang besar saja hamper mustahil, tetapi mereka tentunya ingin mencoba dengan segala kemampuannya ( Petanding yang benar benar siap ) agar setidaknya segala usaha dan jerih payahnya dalam mempersiapkan diri itu dihargai sesuai Peraturan dan Ketentuan yang berlaku, tidak mempermasalahkan bisa terus survive atau tidak pada babak berikutnya, asal sesuai dengan kenyataan yang didukung Peraturan dan Ketentuan yang berlaku itu. Bisa mencapai beberapa babak atas dasar perjuangannya tentu sudah memberi rasa puas dan kebanggaan daripada menerima nasib dihapus begitu saja hanya untuk tetap bisa membuka jalan bagi karateka yang dinominasikan melalui rekayasa. Keluhan ini banyak tersuarakan oleh wakil luar negeri dalam pembicaraan hati ke hati diantara partisipan dan team manager. Suatu keluhan yang memang beralasan. .
Saking mengebu ngebunya tuan rumah, karateka Luar Jepang yang berpotensipun dengan postur tubuh yang berimbang, tehnik dan mental serta phisik yang primapun, tetap sulit bisa menembus dominasi barisan tuan rumah. Secara kebiasaan, bukan keharusan, untuk menghormati Tuan Rumah dalam tiap pertandingan olah raga, biasanya Tuan Rumah dapat kesempatan dan preoritas lebih asal tetap dalam koridor yang layak dan bisa dibenarkan, tetapi kenyataannya dengan ambisi yang terlalu tinggi ini terjadi hal yang tidak fair dan terlampau dipaksakan.. Walau peserta tamu lebih unggul, selalu dicari jalan untuk membantainya dengan berbagai cara dan alasan untuk gagal melaju ke babak berikutnya. Kalau nyata Jepang lebih ringan, timbang badan menjadi alat untuk menghentikannya dan sekiranya Jepang lebih besar, maka dicari usaha lain agar akhirnya lawan kandas, khususnya apabila membahayakan posisi Tuan Rumah di babak berikutnya. Terlihat sudah ada skenario sebelumnya yang harus dilaksanakan dan terlihat dengan jelas, bukan satu strategi logis yang masih bisa dibenarkan.
Kejanggalan ini menjadi hal yang bisa diperkirakan sebelumnya oleh penonton sehingga kalau Karateka dari luar bertanding dengan barisan pagar Tuan Rumah, maka keadaan akhir sudah bisa diduga dan apabila benar terjadi, serentak suara buuuuuu…..terdengan, terutama dari Penonton Luar Jepang yang tidak puas, tidak sedikit juga dari penonton Jepang sendiri yang masih berhati fair dan jujur, tidak ingin melihat kecurangan yang demikian gambling, ikut memberikan dukungan protes.. Suara riuh rendah memenuhi Gedung Municipal Gymnasium.
Peserta Indonesia sendiri pernah mengalami hal seperti ini. Sialnya, pada babak I Peserta Indonesia sudah dihadapkan dengan Karateka yang saya kenal waktu latihan di Honbu tahun 1970 yang memang disiapkan dan dirancang sebagai Juara Dunia. Karena Perwasitan keterlaluan dalam mengambil keputusan dan terlampau nyata ingin cepat cepat menyingkirkan Richard Soesilo dari Indonesia, dengan badannya yang hanya 64 Kg sanggup mengimbangi karateka Tuan Rumah yang 92 Kg. Malahan unggul. Tetapi tetap harus kalah. Master Oyama akhirnya minta pertandingan diulangi dan sambil melihat pada saya seraya mengacungkan jempolnya. Penonton bersorak gembira melihat pertandingan diperpanjang, tidak mungkin terjadi draw lagi yang akan diputuskan melalui timbang badan.Si calon Juara Dunia,Tuan Rumah nyata nyata jauh lebih besar. Akhirnya Tuan Rumah juga dinyatakan menang pada perpanjangan ini, tapi masih lumayan ada apresiasi dari Mastere Oyama sendiri dihadapan ribuan penonton.. Waktu turun panggung Richard dirangkulnya dan Karateka besar tinggi itu berkata : `You`re a good fighter`. Penonton memberikan aplaus dengan beretepuk tangan panjang untuk Richard. Di ruang ganti pakaian Karateka Tuan Rumah tumpah, mungkin karena terlalu tegang dan emosi tidak bisa mengalahkan Karateka Kecil dari Indonesia secara nyata. Akhirnya, WOKT I, 1975 memang menempatkan K. Sato sebagai Juara Dunia..
Ambisi untuk menjadi juara apalagi sebagai tuan rumah serta Jepang disadari sebagai Induknya beberapa Seni Beladiri terutama karate, bisa difahami. Tetapi apabila demikian ambisius sehingga menghalalkan segala cara untuk menang, bisa bisa mencoreng kehormatan dan kebanggaan Tuan Rumah. Kritik ini layak dilontarkan seperti sudah saya sampaikan beberapa puluh tahun lalu secara langsung sebagai orang yang ditempatkan dalam Susunan Kepanitiaan WOKT I, didengar maupun tidak dan saya sadar pasti kurang bisa diterima dan berkenan dengan lapang dada, bahkan kemungkinan kurang disenangi. Itu memang risiko. Tetapi maksud baik harus berani disuarakan, apalagi sebagai Karateka.
Rasa kurang puas ini akhirnya meletus pada World Open Karate Tournament II, 1979. Saking jengkel dan gemesnya Willie William, karateka kulit hitam dari A.S. yang tinggi besar, murid Shihan Tadashi Nakamura yang belakangan berdiam di Negeri Paman Sam dan merupakan senior di Tokyo Honbu, harus mengalami draw 2x walau nyata nyata diatas angin dan menang atas karateka Jepang. Tujuan draw yang beberapa kali ini seperti dikatakan diatas tadi, agar akhirnya bisa ditimbang berat badan masing masing dan Willie William pasti kalah karena memang terlihat dengan gamblang jauh lebih besar dan tinggi dari Karateka Jepang yang dihadapinya, sial baginya, Karateka Jepang ini termasuk dalam skenario untuk bisa menduduki salah satu juara nantinya. Karenanya, penghalang harus dihambat.
Menerima duakali draw, sadar akan akibatnya, segera dengan geramnya Willie William meringkus si Karateka Jepang lawannya itu dan dibobongnya ke meja administrasi pertandingan dan dengan omelan keras dilemparkannya Karateka Jepang itu diatas meja yang berada didepan Arbiter. Penonton secara serentak bertepuk memberi dukungan atas perbuatannya ini. Perbuatan seperti ini memang tidak layak apabila dilihat dari Jiwa Karate Do, tapi kami para penonton yang menyaksikan kejadian kejadian jauh sebelumnya dan menghubungkan dengan peristiwa yang terus terulang, bisa memahaminya. Semua ini, sebagai manusia biasa bisa saja terjadi dan lepas kendali karena tidak lagi sanggup menanggung beban perasaan yang nyata sangat menyakitkan hati dari keputusan Perwasitan yang nyata berpihak. Seolah olah dan mungkin benar bahwa Willie William ini sudah siap jadi `Martir` untuk bertekad memprotes semuanya ini dengan tindakan yang mungkin oleh Tuan Rumah dianggap brutal dan dia tahu risikonya dan akibatnya. Seperti yang saya alami juga belakangan karena berani bersuara terhadap sesuatu yang tidak layak dan janggal, padahal umumnya, yang lain menerima saja walau hatinya berkata lain.
Karenanya, dari kejadian kejadian ini, berdasarkan logika serta analisa yang lama, untuk menghindari hal hal yang mudah direkayasa dan memperkecil kejanggalan dan ketidak adilan dalam satu pertandingan `Full Contact System`, terutama yang diakibatkan beda berat badan yang tidak berimbang dari dua orang Petanding yang sering terlihat seperti Goliath dan David, pada Pertandingan sistim Pukulan – Tendangan Langsung ini mutlak perlu diadakan pembagian berat badan, sehingga masing masing mempunyai kesempatan yang sama, adil dan fair. Tidak mudah dilakukan permainan yang merugikan salah satu pihak.Kemenangan bisa terlihat jelas. Penontonpun bisa ikut sebagai wasit asal tidak ada hal hal yang mudah direkayasa.
Betapapun ketatnya Peraturan dan Ketentuan, tetap masih bisa diterobos melalui kelemahan kelemahannya. Hal ini terjadi dalam segala macam Hukum dan Peraturan serta Ketentuan apapun, selama manusianya tidak berhati jujur pada diri sendiri serta rasa tanggung jawab yang tinggi, apalagi kalau rekayasa menjadi dominant, betapapun lengkapnya sebuah peraturan, akan Cuma Cuma. The man behind the gun sangat memegang peranan.
Kalau kita ingin menilai seorang juara dengan benar dalam sistim ini, apalagi seorang karateka itu tinggi nilai aspek sikap mental yang harus dimiliki, bukan dari kondisi bentuk badan dan kuatnya saja, seolah olah hanya orang dengan postur tubuh besar saja yang layak dan dihargai serta dinilai tinggi untuk bisa menjadi juara, maka salah satu cara yang utama dan penting adalah : Pembagian Berat Badan ini. Kita seharusnya tanggap dan bersedia juga memberi kesempatan pada karateka yang memiliki postur tubuh sedang atau kecil. Baik nilainya sebagai seorang Karateka yang tidak lepas dari Kematangan Phisik – Kemampuan Tehnik dan Sikap Mental serta Semangatnya maupun dipadang dari harkat serta hakekad martabat sebagai manusia yang harus dihargai sederajat. Yaitu HAM.
Berilah kesempatan pada mereka untuk beradu dengan lawan yang seimbang sehingga yang dinilai adalah benar benar hal yang berkaitan dengan semangat karatenya; yaitu : Sikap mental – Ketahanan Phisik – Tehnik dan Semangat Bertanding yang tinggi itu tadi. Jangan kondisi badan seseorang yang memang mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, menjadi landasan Peraturan dan Ketentuan serta ditetapkan sebagai sesuatu yang mutlak harus diikuti selamanya walau dalam pelaksanaan nyata jauh dari logika dan pemikiran yang bisa dipertanggung jawabkan. Hasil positif bisa diperoleh dalam satu pertandingan yang Peraturan dan Ketentuannya rasional. Tidak asal membeo dengan pikiran kosong dan mata buta. Jangan sampai penilaian hanya untuk segolongan manusia super saja yang kemenangannya sering didukung gaya sebuah `bull dozer` umpamanya, yang asal terjang. Bisa memukul, menendang, menangkis sedikit, tahu peraturan dan ketentuan pertandingan mendadak, lalu dimajukan dalam pertandingan, asal menang. Apa artinya kemenangan yang didapatnya. Jangan bersemboyan : Pokoknya….. Memang, satu Pertandingan Olah Raga apapun tujuan akhir adalah Juara. Tetapi juara yang memang layak, bukan karena dipaksakan apalagi karena rekayasa.
Hal seperti ini yang membuat mudahnya terjadi Karateka Instants. Karateka dadakan yang bisa membantai karateka sebenarnya dan bermutu jauh lebih tinggi dalam segala bentuknya, hanya bermodalkan besar dan tinggi badan belaka. Padahal, dia sendiri setelah sekali bertanding, kapok karena kemenangannya bukan karena persiapan, tetapi bertitik berat pada phisik yang menunjang dan hanya terlihat kekar dari luar.
Pertandingan Olah Raga yang benar menonjolkan mutu kemampuan dan kelebihan manusianya yang memang dipersiapkan secara lahir bathin, bukan dadakan dan karena factor kebetulan, khususnya dalam Seni Beladiri dimana sportivitas itu sangat dinilai tinggi. Sangat disayangkan apabila kepincangan dan kejanggalan demikian ini menjadi hal yang biasa dalam Karate Olah Raga.
Karenanya, sejak Kyokushinkai Karate Home Tournament I, akhir 1971 di Gelora Panca Sila Surabaya, memperebutkan `Brawijaya Cup I, terus dipertimbangkan berlandaskan pengalaman dan apa yang terasa kurang sesuai selama di Tokyo Honbu dalam hal Jiyu Kumite dan kenyataan pada All Japan Karate Open Tournament I, 1972 yang tiap tahun selalu diselenggarakan,, Worl Open Karate Tournament I, II yang masih sempat diikuti Perguruan sebeluim pintu tertutup kepada orang yang tidak bisa bungkam ini, melihat kepincangan tidak hanya dalam Pertandingan, juga yang lain.. Semua ini, dijadikan bahan pemikiran dan pelaksanaan kemudian hari pada Perguruan di Tanah Air untuk memantapkan Pembagian Berat Badan.
Pada Kejuaraan Internasional Asia Tenggara, 1973 di Surabaya, tetap tidak ada pembagian berat badan walau pada All Japan Karate Open Tournament 1972 terjadi banyak kepincangan kepincangan akibat faktor ini, karena keyakinan dan melihat peserta yang akan ikut sudah berimbang, tidak akan terjadi perbedaan berat badan yang mencolok. Pada Kejuaran Internasional Asia – Pasifik tahun 1981 yang diikuti 9 Nagara di Jakarta, tetap tidak ditentukan pembagian berat badan, hanya kepada seluruh Pimpinan Organisasi dan Delegasi yang diundang saya himbau untuk mengirimkan peserta dengan batasan yang menjamin adanya keseimbangan berat badan diantara para Petanding. Ternyata usaha ini juga membuahkan hasil pengertian antara sesama delegasi. Jepangpun mengirimkan Peserta yang pantas dan memang berkualitas. Dua orang Uchi Deshi.
Berdasarkan pengalaman dan kenyataan yang terjadi, maka Perguruan dalam Kejuaraan Kejuaraan baik antar dojo, Kejuaraan Daerah dan Nasional, melaksanakan ketentuan pembagian kelas berat badan, yaitu dengan selisih 5 Kg. Selisih ini yang paling sesuai dan cukup ideal, khususnya untuk orang Asia dan Negara Negara yang masyarakatnya rata rata berberat badan antara 60 – 75 Kg dengan tinggi sekitar 160 – 170 cm. Maksimal selisih berat badan yang masih bisa ditolerir dalam Sistim Pukulan – Tendangan Langsung ini adalah 10 Kg. Tetapi yang paling sesuai dimana kedua peserta bisa leluasa mengembangkan kelebihannya tanpa kuatir terjadi adu berat badan adalah 5 Kg.
Peraturan ini oleh Perguruan akan tetap dijadikan batasan walau digunakan dalam Kejuaraan Internasionalpun, kapan saja. Untuk mengurangi rasa tidak adil diantara para Partisipan. Perguruan tidak akan buta mata dalam mempertimbangkan pengetrapan Peraturan dan Ketentuan yang hanya akan menguntungkan sepihak orang saja. Perguruan juga selalu memikirkan agar para Karateka Puteri dan Yunior yang ingin mencapai Prestasi Karate Olah Raga bisa tampil dalam Kejuaraan Kejuaraan yang diselenggarakan. Semua diberi kesempatan yang sederajat.
( Nardi TN )