Pada tanggal 7 Mei 1967 adalah: Hendro Wibowo, Dwianto Setyawan dan St. Suprijadi adik kandungnya sendiri yang secara efektif diberikan latihan karate. Tanggal tersebut dijadikan tanggal kelahiran Perguruan. Semula ada rasa ragu pada diri Nardi, apakah kaum muda mau dan bersedia berlatih hal yang masih awam ini serta membutuhkan kemauan kuat dan semangat tinggi, karena berlatih karate bukan hal yang ringan kalau ingin mencapai hasil, harus penuh tertib disiplin diri yang tinggi dan bahkan menjemukan dan membosankan.
Prinsip Nardi bahwa; lebih baik sedikit tapi mendalam daripada luas tapi dangkal, membuat orang sering merasa jemu dan jenuh sebelum ada hasil nyata yang dicapai. Nardi selalu bersemboyan bahwa segala sesuatu yang dicapai secara cepat dan mudah, maka juga akan cepat luntur dan mudah musnah sekaligus tanpa bekas, sebaliknya apa yang diperoleh dengan ketekunan sejati, hasilnya akan bisa bertahan lama dan bisa dinikmati. Ternyata dari ketiga remaja tersebut Hendro Wibowo sebagai orang pertama yang mulai diberi pelajaran dasar menunjukkan sikap dan ketekunan yang luar biasa, bersedia mengikuti dengan sungguh-sungguh dan bahkan diluar dugaan segala instruksi betapa beratnya. Hal ini memberikan rasa percaya diri pada Nardi bahwa masih ada remaja yang dengan sepenuh hati bersedia mengikuti segala petunjuknya dalam berlatih dasar-dasar karate. Keadaan ini menggerakkan semangatnya yang sejak semula memang bercita-cita agar karate ini bisa disebar luaskan diantara generasi muda pada saat yang tepat nanti. Nardi mulai berkonsentrasi dan mempersiapkan diri lahir bathin.
Maka pada tanggal 7 Mei 1967 tersebut, dimulainya latihan secara terjadwal dengan bertambahnya dua remaja yang lain tadi, kegiatan latihan ini merupakan benih berdirinya Perguruan sehingga untuk beberapa saat hanya tiga orang ini yang diberi latihan secara intensif dan terprogram. Mulailah babak baru dalam merealisir cita-citanya. Dari tiga orang pemula ini, setelah latihan berjalan selama dua bulan baru mulai dibuka pendaftaran untuk umum.
Ternyata ajakan ini sangat diminati kaum remaja di Batu dan hingga akhir 1967 telah berlatih sekitar 150 remaja dan pemuda bahkan orang dewasapun tertarik untuk ikut didalamnya dan resmi terdaftar sebagai anggota benih Perguruan ini. Mereka berlatih dalam tiga gelombang yang padat dengan waktu latihan tiga kali seminggu, yaitu: Senin – Kamis, Selasa – Jum’at dan Rebo – Sabtu dari pukul 16.00 hingga pukul 19.00. Mereka ternyata amat bersemangat mengikuti segala instruksi yang diberikan, berlatih keras dengan disiplin tinggi, tertib dan sekaligus menjaga nama baik benih Perguruan ini yang saat itu bernama: ‘PEMBINAAN MENTAL KARATE – GO NO SEN’, ditengah masyarakat Batu khususnya dengan rasa tanggung jawab tinggi, kompak dan erat ikatan satu sama lain.
Makin besar hasrat dan keinginan Nardi TN. untuk bisa memperdalam Kyokushin Karate ini pada SPECIAL BLACK BELT COURSE FOR INSTRUCTORS di KYOKUSHINKAI – KAN INTERNATIONAL KARATE ORGANIZATIONS Tokyo Honbu sesuai dengan harapan dan saran Master Oyama, tetapi kesempatan ini terasa sulit terwujudkan karena terhalang pembeayaan yang cukup besar tentunya dengan segala persyaratan berat yang harus ditanggungnya. Keterangan ini diperoleh Nardi dari pemberitahuan rekan di Tokyo dan Nagoya, yaitu Yan Okuyama dan Atsushi Kanamori yang keduanya dikenal melalui korespondensi yang sudah dilakukan sejak beberapa tahun. Yan Okuyama adalah mahasiswa dari Bogor yang masih keturunan orang Jepang dan Atsushi Kanamori sensei adalah seorang guru dan pernah bertugas dan mengajar di Manado, Sulawesi Utara pada masa pendudukan Jepang di Indonesia sehingga bisa menulis dan berbahasa Indonesia walau tidak sempurna.
Keduanya dikenal Nardi secara kebetulan dan secara teratur melakukan hubungan surat menyurat. Akibat hubungannya melalui korespondensi yang demikian lama dan teratur dengan Master Oyama, menyebabkan Nardi sedikit banyak mengerti, mengenal dan memahami karakter dan jalan pikiran Master Karate ini dalam sikap dan sifat pribadinya walau tidak sepenuhnya. Selama tahun 1967 hingga permulaan tahun 1970 Perguruan kecil ini sudah sempat berkembang ke Malang dikalangan para Mahasiswa, Pusdik Arhanud Karangploso, Surabaya, Pasuruan dan Probolinggo. Nardi dibantu anggota senior.
Karena belum memperoleh keresmian dari Induk Organisasi di Tokyo Honbu, maka nama Perguruan tetap PEMBINAAN MENTAL KARATE – GO NO SEN. Go No Sen berarti secara sederhana: Bertahan adalah menyerang. Defensive is offensive atau secara lebih luas: Bertahan adalah sikap utama Karateka dan menyerang (membalas) hanyalah karena keterpaksaan. Karateka mendahulukan sikap menahan diri dan bertahan diri. Perguruan yang masih muda ini terus memantapkan diri terutama dalam ketertiban dan kedisiplinan baik kedalam dan terutama keluar sehingga segera memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan meluas.
Beberapa anggota senior ikut membantu penyebaran ini walau saat itu tingkatan mereka masih lower class istilahnya, tapi karena sikap mental dan semangat tinggi yang ditampilkan, bertanggung jawab, tertib dan disiplin dalam menjalankan tugasnya, cukup disegani dan dipercaya dimana mereka bertugas. Saat itu tingkatan mereka tidak lebih dari Kyu 4 sabuk hijau. Nardi selalu membedakan pengertian ‘tertib’ dan ‘disiplin’. Sebelum seseorang bisa berdisiplin diri, maka pada umumnya harus mengalami masa ‘tertib’ dahulu, berarti dirinya dilingkari berbagai peraturan, ketentuan, pengawasan dan pengarahan langsung dan bahkan beberapa pemaksaan terhadap beberapa jenis kebandelan. Manakala semuanya ini telah meresap dan sudah diterimanya secara utuh, maka timbul dan berkembanglah rasa ‘disiplin‘ pada dirinya. Disipilin tidak lagi membutuhkan pengawasan dan pengarahan apalagi pemaksaan karena memang sudah tumbuh dari hati sanubarinya dan sudah menjiwai dan dijiwai rasa tanggung jawab atas segala perbuatan dan gerak langkahnya.
Inilah disiplin yang nilainya amat tinggi. Disiplin diri pada dasarnya tumbuh dari dalam dirinya sedangkan tertib datang dari luar dirinya.