Pencarian Korban

Setelah kejadian ini, semua dikumpulkan dan dari laporan Pimpinan Rombongan ternyata delapan karateka terbawa arus laut dan hilang. Sore itu rombongan kembali ke Surabaya dan sejak itu Nardi tinggal di Pantai, bermaksud menunggu sekiranya ada jenasah yang terbawa arus kembali ke Pantai.

Selama hampir dua minggu, seorang diri tanpa teman, terutama diwaktu malam hari. Siang hari masih terhindar dari kesunyian, lebih ramai, ada saja, baik dari warga Perguruan maupun dari keluarga korban ataupun pengunjung umum yang ingin tahu kejadiannya.

Tetapi di malam hari setelah pukul 18.00 suasana mulai mencekam, pendudukpun tidak banyak keluar kecuali beberapa dukun yang pada larut malam coba menakut-nakuti Nardi agar mau membayar untuk sesajian arwah ke delapan karateka untuk bisa didatangkan jenasahnya ke pantai kembali. Nardi tidak menanggapinya. Keadaan benar sunyi sepi di malam hari. Masyarakat sekitar heran bagaimana Nardi bisa bertahan. Ada dugaan bahwa dirinya pasti mempunyai ilmu untuk ini semua, padahal tidak samasekali.

Semua ini hanya karena tekad dan konsentrasinya terhadap rasa tanggung jawab yang berada dipundaknya Malam hari sekitar pukul 23.00 – 24.00 Nardi seorang diri setiap kali menelusuri pantai dimana terjadi musibah ini, harus melewati bukit sekitar 500 meter tadi sebelum sampai di Pantai Pasir Putih. Beberapa senior yang berkunjung malam hari pernah diajak Nardi melewati jalan ini. Mereka bisa merasakan keseraman saat seperti itu, hari yang gelap gulita.

Nardi sangat ikhlas memikul tanggung jawab sepenuhnya musibah ini walau dia hadir atas undangan Cabang Surabaya, tetapi sebagai Pimpinan Perguruan dia layak betanggung jawab penuh. Sore itupun langsung dikatakan bahwa semua tanggung jawab berada di pundaknya. Sore itu juga Nardi kembali ke Batu untuk mengambil perlengkapan secukupnya untuk tinggal di Pantai dan segera kembali lagi.

Malam itu dari keluarga korban banyak yang datang. Sebagian marah-marah sejak mendengar berita ini dari Manager Cabang Surabaya dan warga yang kembali ke Surabaya. Berita duka ini cepat tersiar secara luas. Malam itu Nardi sengaja duduk di salah satu ruangan sambil membuat catatan mengenai hal penting sebagai laporan sekiranya diminta oleh Pejabat yang berwenang dan sengaja membelakangi pintu masuk.

Ini bukan sikap melecehkan kehadiran keluarga yang dipastikan ada yang datang untuk minta pertanggung jawaban. Tujuannya ialah, sekiranya ada keluarga yang tidak bisa menerima musibah dan kejadian ini dan ingin melampiaskan kemarahannya pada Nardi, ia siap dan menerima sebagai konsekuensi yang wajar. Bahkan di Surabaya sudah terdengar ada saudara dari korban yang marah dan mengancam untuk balas dendam atas kejadian ini.

Nardi duduk di ruang kamar tidur, di sela peti-peti ketiga jenazah yang bisa diketemukan.

Berita ini diterima Nardi dari orang yang datang malam itu diluar keluarga dan bersimpatik untuk minta Nardi berhati-hati. Nyatanya, keluarga datang hampir menjelang tengah malam.Mereka masuk dengan sopan dan dipersilahkan untuk duduk berhadapan dengan Nardi. Dijelaskan semua kejadian secara rinci. Mereka bisa menerima dan suasana ketegangan berubah menjadi kekeluargaan.

Dari ke delapan karateka ini akhirnya setelah beberapa hari ditunggu hanya bisa diketemukan kembali mulai hari Rabu tanggal 8 September dan Kamis tanggal 9 September tiga jenasah saja dan langsung diidentifikasi dan dikenali oleh Nardi sendiri.

Hari Selasa tanggal 7 September, dua hari setelah kejadian, adalah hari ulang tahun Nardi. Kebetulan banyak warga Perguruan hadir dalam jumlah lumayan sejak pagi hari, sambil bersama sama duduk di Pantai melihat ke arah laut mengenang kejadian naas hari minggu yang lalu.

Tiba-tiba disaksikan oleh semua yang berada di Pantai, baik warga maupun pengunjung umum yang sejak hari Senin memang banyak yang datang untuk melihat tempat kejadian, sekitar jarak 80 meter kearah laut, terlihat berderet-deret lewat terapung bentuk jenasah kedelapan karateka di depan orang orang yang berada di pantai dan terus menghilang lagi dibawa arus seperti kejadian hari minggu lalu dua hari lalu.

Yang aneh, seorang warga yang menjadi korban saat itu memakai ikat kepala dan pada waktu kejadian hari Selasa itu juga masih tetap memakai ikat kepala. Sebenarnya tidak mungkin terjadi, pasti terlepas sudah ikat kepalanya. Mungkin ini hanya sebagai tanda bayang bayang saja, tetapi yang aneh, kalau yang melihat kejadian ini hanya satu dua orang, ada kemungkinan hanya halusinasi, tetapi ini dilihat demikian banyak warga secara bersama-sama, juga para pengunjung umum yang berada di pantai.

Seorang anggota dari Sidoarjo, seorang ABRI, saat melihat kejadian ini berteriak-teriak sambil menangis histeris. Saya akan ke Bupati untuk minta agar jenasah dicari kembali, teriaknya.Warga yang saat itu berada di pantai tertegun. Semua terdiam dan merasa agak menyeramkan. Suatu misteri, seolah-olah para karateka almarhum memberi selamat ulang tahun kepada Nardi, ucap seorang warga senior menyaksikan ini semua.

Bapak Widjojo Soejono yang waktu itu menjadi Pangkowilhan di Ujung Pandang sempat datang bersama Bupati Malang dengan helikopter, malahan beberapa saat berkeliling diatas permukaan laut dalam radius yang cukup luas untuk melihat dari udara, mungkin bisa ditemukan jenasah para karateka yang lain disamping yang sudah terdampar kembali. Hasilnya nihil.

Pada kesempatan yang memungkinkan, Nardi sambil meneteskan air mata juga menyampaikan secara terus terang, mohon bantuan dana dari Bapak Widjojo Soejono karena memang saat itu tidak ada dana tersedia untuk rencana pemakaman kelak, juga untuk biaya lain, sedangkan keluarga dari korban yang mampu tidak menyadari bahwa Perguruan merasa berat memikul beban pembiayaan ini.

Bapak Widjojo Soejono secara ikhlas memberikan bantuan cukup besar sesuai nilai waktu itu. Nardipun mengorbankan salah satu yang dimilikinya sekedar untuk mempersiapkan hari pemakaman yang direncanakan yang akan diberangkatkan dari Pusat Perguruan nanti.

Setelah hampir dua minggu tidak diketemukan jenasah lagi dan kemungkinannya sudah tidak ada, maka diputuskannya pada hari Jumaat tanggal 17 September, minggu kedua setelah kejadian, jenasah tiga karateka yang sudah berada dalam peti jenasah, dibawa kembali ke Gedung Pusat di Batu dan kelima peti yang lain diisi dengan pakaian dan milik almarhum secara simbolik, disemayamkan bersama-sama di Gedung Pusat.

–BERSAMBUNG–